mengajar

“Saya mau daftar cerai,” itulah ungkapan yang paling sering terdengar oleh petugas Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Ungkapan tersebut terucap dari para Wanita mulai dari usia 20 hingga 35 tahun keatas. “Sehari bisa sampai 80 hingga ratusan orang yang melakukan sidang perkara,” ungkap Fauzi, selaku petugas Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Fauzi menuturkan, lima ruang sidang di Pengadilan Agama Jaksel, setiap hari masing-masing digunakan oleh 20 hingga 25 orang yang mengikuti proses perceraian. Jumlah perkara di Pengadilan Agama Jaksel ini tak berdiri sendiri namun juga dibarengi oleh beberapa pengadilan agama kota lain, angkanya dapat mencapai dua kali lipat. Padatnya jadwal sidang perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan gambaran situasi yang lebih besar di Indonesia.

Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan peningkatan tren perpisahan suami istri di negara ini. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen. Hanya pada satu tahun saja angka perceraian sempat turun. Yakni 2011, sebanyak 158.119 ribu perceraian dari 285.184 ribu sidang talak setahun sebelumnya.

Adapun rekor angka perceraian tertinggi dalam setahun terjadi pada 2012. Kala itu palu hakim yang mengesahkan perceraian diketok 372,557 kali. Artinya, terjadi 40 perceraian setiap jam di Indonesia. Tak hanya itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tiga tahun lalu sudah mengingatkan, angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik.

Anwar memaparkan, kasus gugatan cerai paling banyak bahkan tidak di kota besar, melainkan di kabupaten-kabupaten. Daerah dengan tingkat perceraian tertinggi adalah Banyuwangi, Jawa Timur. “Persentase di Banyuwangi itu bisa sampai di atas 30 persen,” ujarnya.

Angka yang cukup fantastis! Belum selesai jerat narkotika, kekerasan seksual pada anak, prostitusi gay hingga melibatkan anak dibawah umur yang semuanya sampai pada status DARURAT “Bencana”. Kini Indonesia harus tertegun lagi dengan tingginya angka perceraian yang didominasi oleh penggugat perempuan hingga mencapai 70% dibandingkan cerai talak yang hanya 30%.

Faktor penyebab rata-rata karena ketidak harmonisan pasutri, suami yang tidak bertanggung jawab, pihak ketiga hingga masalah kesejahteraan. Kondisi ini tentu sangat menghawatirkan, mengingat keluarga adalah institusi terkecil dalam pembentukan karakter sebuah bangsa. Faktor-faktor diatas bukanlah factor utama yang menjadikan perceraian itu marak dengan penggugat perempuan, ada yang lebih mengerikan dari semua itu yaitu persepsi yang salah tentang kehidupan;

  • Sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi asas bagi kapitalisme barat telah mendidik kita menjadi manusia yang tidak taat terhadap norma dan aturan, betapa tidak aturan tuhan saja tak pernah diijinkan dalam menguasai dan mengatur hidup manusia apalagi terhadap aturan yang dibuat oleh manusia, kepada Tuhan saja kita sudah dibuat tak bertanggung jawab apalagi kepada sesama manusia. segala sesuatu dijalankan hanya berdasarkan kontrak dan komitmen bukan ketaqwaan.
  • Kapitalisme telah merubah arti kebahagiaan, dimana kebahagiaan hanya didefinisikan dengan mendapatkan pemuasan materi yang setinggi-tingginya hingga kapitalisme telah mendorong kita untuk hidup dengan gaya hedonis yang suka dengan kemewahan dan foya-foya hingga banyak sekali amal yang terbuang sia-sia.
  • Pernikahan tak lagi dilaksanakan dengan tujuan ibadah namun hanya sebatas komitmen dalam menjaga perasaan. Sungguh miris bangunan pernikahan hanya dilandasi dengan pondasi yang sangat rapuh yaitu jaminan perasaan, siapa yang mampu menjamin perasaan seseorang yang setiap detik bisa berubah? Harta, kemapanan, jabatan, keelokan rupa? Semua itu tak sanggup menjaminnya kecuali hanya ketaatan seseorang pada Tuhannya. Lalu darimana kita bisa mendapatkannya sementara kapitalisme-sekuler telah jauh-jauh hari menyingkirkannya dalam kehidupan kita.
  • Fungsi, peran dan tugas masing-masing yaitu suami, istri dan NEGARA dalam membangun sebuah hubungan masyarakat yang telah sangat apik diatur dan ditentukan oleh AGAMA kini dirusak oleh Kapitalisme-sekuler dengan ide kesetaraan gender yang penuh dengan muatan-muatan liberalisasinya.
  • Ditambah lagi peran media massa baik cetak, cyber maupun audio visual yang secara massif mengkampanyekan ide-ide liberalism (kebebasan) melalui food, fashion dan film serta peran Negara yang sangat minim dalam mengcounternya.
  • Fungsi Negara dalam Islam adalah sebagai JAMINAN atas Penyelenggaraan pemenuhan kebutuhan dan pengaturan urusan Ummat melalui sistem politik-ekonominya juga telah dirusak dengan sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis liberal. Kapitalisme telah mencetak jurang kesenjangan yang sangat dalam terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat. Betapa tidak dalam prinsip system ekonomi kapitalis, pembangunan ekonomi berbasis liberal (bebas), itu artinya jika ingin maju maka peran Negara harus dikebiri, segala sesuatu bergantung pada mekanisme pasar, negara hanya berfungsi sebagai regulator. Lalu siapa yang akan menjamin pihak yang lemah? Tentu saja juga korporasi raksasa itupun jika masih memiliki sisa-sisa rasa kemanusiaan. Akibat semua ini eksploitasi terjadi di segala sector karena Negara sudah kehilangan jati dirinya.

Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah melalui kementrian Agama dalam menangani kasus perceraian yang sudah diambang batas ini tentu tak cukup hanya dengan membekali masyarakat yang ingin menikah dengan modul-modul pendidikan pra nikah saja, karena kenyataannya masalah yang dihadapi masyarakat ini adalah masalah yang saling terpaut dalam sebuah system kehidupan yang cacat dan merusak. Selama kapitalisme masih mencengkeram negeri ini maka kerusakan tak kan pernah hentinya menghinggapi kehidupan kita, karena system ini sudah cacat sejak kelahirannya di barat pada abad pertengahan silam.

 

Penulis             : Tri Ayuning S, S. Si

Alamat             : jl. Nangka, no.28 loloan barat, Negara Jembrana-Bali

Phone              : 081.916.110.962