Imlek berasal dari lafal Hokkian yang artinya kalender lunar (bulan) atau tahun yang dibentuk dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari. Atau dalam lafal pinyin disebut yin li,yang artinya kalender bulan.

Kalender ini mulai dikembangkan pada milenium ke-3 SM. Konon,ditemukan oleh penguasa legendaris pertama,Huáng Dì,yang memerintah antara 2698 SM–2599 SM. Kemudian dikembangkan lagi oleh penguasa legendaris ke-4,Kaisar Yáo. Tahun baru Imlek juga dikenal dengan tahun baru lunar,yaitu tahun baru yang didasarkan pada sistem peredaran bulan. Tahun baru Imlek merupakan tahun baru yang sangat penting bagi masyarakat China di Tiongkok dan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Pesta dilakukan secara besar-besaran.Perayaan tahun baru Imlek bahkan lebih meriah dari peringatan tahun baru Masehi di Tiongkok. Tahun baru Imlek merupakan peristiwa bersejarah bagi orang Tionghoa di Indonesia. Namun,masih banyak yang belum mengerti tentang asal-usul dan makna simbol serta alat-alat yang digunakan dalam upacara menyambut kedatangan hari tahun baru.

Warna Merah dalam Perayaan Tahun Baru 
Orang-orang China sering menggunakan warna merah sebagai simbol perayaan tahun baru Imlek.Mulai dari kertas merah yang ditempel di depan pintu setiap rumah yang berfungsi sebagai penolak segala bahaya,kartu ucapan selamat hari raya,angpau (yaitu uang yang dibungkus dengan amplop merah),kain yang digunakan untuk menutup meja sembahyang (altar) juga menggunakan kain merah,lilin merah yang dipasang di altar tempat mereka memuja Tuhan,dan sebagainya.
Istilah angpau diambil dari lafal Hokkian –suku bangsa yang banyak terdapat di pulau Jawa.Angpau diberikan oleh orang tua atau anggota keluarga yang lebih tua kepada anak-anak yang melakukan kunjungan dan memberi hormat kepada mereka.Jumlah uang yang diberikan ini tidak ditentukan besarnya karena sifatnya hanya untuk menghibur atau membahagiakan anak-anak dalam rangka tahun baru.
Saat melakukan kunjungan kepada orang tua atau keluarga yang dituakan,tujuan utama anak-anak bukanlah untuk mendapatkan angpau,namun yang lebih penting adalah memberi hormat kepada orang yang lebih tua,saudara tua,atau orang yang dituakan dalam anggota keluarga. Tradisi ini sangat sesuai dengan ajaran Konghucu yang menekankan seseorang untuk menghormati orang tua atau orang yang dituakan dalam anggota keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Tradisi orang-orang China dalam memberi angpau kepada anak-anak pada saat tahun baru Imlek ini juga terpengaruh pada penduduk setempat,di mana mereka berada.Di Jakarta dan Jawa Barat misalnya. Pada saat hari raya Idul Fitri,banyak juga dari orang tua yang dikunjungi oleh sanak keluarganya,terutama anak-anak kecil yang dibekali oleh orang tua dengan uang recehan ketika anak-anak tersebut akan pulang.Akan tetapi,uang tersebut tidak dibungkus dengan amplop merah, tapi langsung dimasukkan ke dalam kantong celana atau baju anak-anak tersebut.
Hal ini dilakukan tidak lain adalah untuk membahagiakan anak-anak tersebut, dalam rangka memeriahkan hari raya Idul Fitri. Tradisi orang China memberikan hadiah uang kepada anak-anak atau dalam pesta perkawinan dengan menggunakan amplop merah,juga berlaku di kalangan orang-orang non-China,terutama dalam perayaan pernikahan. Tradisi semacam ini terjadi di Pulau Jawa,di mana apabila ada perayaan pernikahan, orang-orang yang datang memberikan ucapan selamat kepada pengantin, mereka juga memberikan uang dengan menggunakan amplop merah.
Amplop berwarna merah ini sudah ada dijual di toko-toko yang sengaja dibuat secara khusus untuk orangorang yang akan memberikan uang atau hadiah kepada keluarga yang mengadakan perayaan pernikahan. Dalam perayaan menyambut kedatangan tahun baru,tidak saja angpau atau hadiah uang yang dibungkus dengan amplop merah,petasan juga menggunakan warna merah.
Apabila pada malam tahun baru mereka (orang-orang Tionghoa) yang merayakan tahun baru memeriahkan tahun baru dengan menyalakan petasan atau mercon,sudah barang tentu halaman rumah, jalan,atau tempat-tempat tertentu yang digunakan untuk menyalakan petasan itu menjadi merah karena bekas kertas petasan-petasan tersebut.Menurut Nio Joe Lan,kertas merah bekas orangorang menyalakan petasan pada malam tahun baru juga dapat membantu mendoakan kebahagiaan untuk keluarga.
Tradisi membakar petasan pada tahun baru Imlek ini tidak hanya berlaku pada saat menyambut tahun baru Imlek, tapi juga terjadi pada saat orangorang yang menyambut kedatangan tahun baru Masehi.Di kalangan orang-orang Betawi di Jakarta yang akan merayakan pesta pernikahan anaknya juga membakar petasan.Jadi,dewasa ini di DKI Jakarta umumnya,petasan sudah menjadi simbol diadakannya upacara pernikahan.

Akulturasi Budaya Tionghoa Indonesia 
Akulturasi budaya Tionghoa dan Indonesia sudah sulit kita pisahkan karena banyak istilahistilah yang berasal dari bahasa Tionghoa digunakan secara umum dan diterima semua kalangan.Seperti cepek, gopek,gocap,dan angpau. Nama-nama juga sudah berakulturasi, seperti di Jawa, tidak sedikit orang Tionghoa yang mengganti namanya dengan nama Jawa. Kalau dia masuk agama Islam,dia mengganti namanya dengan berbau Arab, seperti Syafii,Hanafi,Yusuf,dan lain-lain.
Di Kalimantan Barat,pemain barongsai dan tari liong (naga) tidak hanya dilakukan oleh orang Tionghoa,tapi juga oleh berbagai suku bangsa seperti Melayu, Bugis dan Dayak.Ke depannya,akulturasi antara Tionghoa dan non etnis Tionghoa akan semakin meningkat, apalagi banyak diantara mereka yang menikah silang dan perpaduan dua kebudayaan tidak dapat dihindari.

(*) M. IKHSAN TANGGOKProfesor/Guru Besar Antropologi Agama dan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin (Teologi), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah  (SINDO//abe)