Foto: Direktur IESR, Fabby Tumiwa saat memaparkan pemanfaatan energi terbarukan di Bali dapat mendorong the next level of tourism di Warung Bendega Denpasar.

Denpasar (Metrobali.com)-

Bali diyakini bisa menjadi pulau yang secara ambisius menggunakan energi terbarukan bahkan dapat berkontribusi dalam memajukan dan memberikan nilai tambah bagi pariwisata Bali di masa depan serta membawa pariwisata Bali naik kelas.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan pemanfaatan pembangkit surya di Bali bisa dimulai dari semua bangunan pemerintah dan perhotelan serta  pemanfaatan energi terbarukan di Bali dapat mendorong the next level of tourism di Bali.

“Pemanfaatan pembangkit surya di Bali dapat membawa pariwisata Bali naik kelas menuju the next level of tourism,” kata Fabby Tumiwa dalam paparannya bertajuk  “Bali Renewable Energy Island: The next era of sustainable tourism” yang disampaikan di hadapan awak media di Warung Bendega Denpasar, Jumat (5/3/2021).

Pihaknya menerangkan bahwa pembangkitan listrik tidak hanya difokuskan pada pembangkit skala besar, melainkan juga perlu menitikberatkan pada pembangkit berskala komunal (individu). Dengan target pengembangan energi surya sebesar 50 MW pada tahun 2025 sesuai rancangan umum energi daerah Bali, PLTS atap dapat berkontribusi secara signifikan.

“Sebagai sumber energi terbarukan yang demokratis dan dengan semakin berkembangnya teknologi serta layanan penyediaan energi surya, masyarakat punya andil dalam memanfaatkan sumber energi ini,” ucapnya.

Fabby menuturkan bahwa Bali menjadi provinsi pertama yang mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Bali Energi Bersih dan Kendaraan Listrik pada 12 November 2019 lalu. Sebagai provinsi yang memiliki visi keberlanjutan, kerangka regulasi ini terfokus pada pemanfaatan energi terbarukan setempat, termasuk energi surya.

“Selain pemberlakuan mandatori RUEN untuk bangunan publik dan rumah mewah, pemanfaatan energi terbarukan di Bali, khususnya energi surya, juga menyasar industri pariwisata,” jelasnya.

Adapun pemanfaatan energi terbarukan di Bali dapat mendorong the next level of tourism di Bali yakni business sustainability dan brand reputation.

“Dalam business sustainability berdampak langsung pada efisiensi energi dan biaya operasional. Tentunya payback jangka panjang dalam mengurangi biaya energi dan akan meningkatkan revenue,” ungkap Fabby.

Lebih lanjut dikatakannya, dalam brand reputation akan memberikan branding dan nilai tambah yang berbeda di mata konsumen, meningkatkan daya saing meningkatkan hubungan dengan konsumen, menunjukkan inisiatif yang berbeda dan ramah lingkungan dan memberikan kenyamanan dalam level yang berbeda.

“Studi pasar yang dilakukan IESR di 3 kota di Bali juga menunjukkan adanya minat dari kelompok rumah tangga (residensial), bisnis/komersial, dan UMKM untuk menggunakan PLTS atap,” sebutnya.

Adapun IESR telah melakukan analisa awal potensi energi surya di Bali untuk bangunan pemerintah dan publik, hotel di kawasan Nusa Dua dan Kuta, serta menggali intensi dan ketertarikan pelaku industri pariwisata untuk menggunakan energi surya.

“Simulasi IESR menunjukkan adanya potensi rooftop solar hingga 25,9 MWp hanya untuk hotel bintang 5 di kawasan Nusa Dua dan Kuta. Sedangkan potensi rooftop solar (PLTS atap) untuk bangunan publik dan fasilitas umum di Bali berdasarkan simulasi IESR juga terbilang tinggi, mencapai 15,6 MWp,” terangnya.

Dijelaskan, jika potensi PLTS atap tersebut mampu dimanfaatkan dengan optimal, Pulau Dewata sepenuhnya bisa mandiri energi. Sedangkan persepsi kelompok masyarakat serta pelaku usaha di sektor bisnis dan UMKM terhadap PLTS atap sangat positif.

Namun pihaknya mengakui adanya kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap yang dilatari minimnya informasi. Terutama rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap.

Sementara Kepala CORE Udayana, Ida Ayu Dwi Giriantari menyatakan bahwa kemungkinan Bali turut mengembangkan pembangkit listrik dari energi surya. Terlebih pemanfaatan energi surya untuk pembangkitan bisa ditempuh lewat PLTS atap.

Terkait adanya tantangan dalam adopsi PLTS atap secara masif, pihaknya mengimbau agar sosialisasi pengetahuan dan pemahaman teknologi PLTS harus digencarkan guna meningkatkan literasi dan kesadaran masyarakat.

“Sosialisasi dan dorongan harus terus dilakukan. Perlunya pemberian informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya yang masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Bali juga,” pungkasnya. (wid)