Denpasar (Antara)-
Pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim yang diketuai Albertina Ho, mempertanyakan motif di balik kasus hukum terdakwa Anand Krishna.
“Majelis hakim dengan kompak juga menolak bukti-bukti yang dinilai tidak relevan atau tidak terkait dengan kasus ini,” demikian disampaikan Dwi Ria Latifa SH, salah seorang kuasa hukum Anand Krishna, Kamis.
Dalam siaran pers yang disampaikan kepada ANTARA di Denpasar, disebutkan bahwa pada sidang di ruangan tertutup yang berlangsung Rabu (21/9) itu, majelis hakim menyampaikan hal tersebut menyikapi keterangan yang terungkap di persidangan.
Menurut Dwi Ria Latifa, dalam persidangan Anand Krishna mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan dan dugaan rekayasa kasus hukum yang dialaminya.
Hal itu terjadi diduga terkait kevokalan Anand Krishna sebelumnya yang sering menyuarakan kritik terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran kemanusiaan di Indonesia, baik lewat tulisan maupun ucapan dan paparan pada simposium kebangsaan.
Terdakwa juga mengakui bahwa Muhammad Djumaat Abrory Djabbar yang diduga terkait permasalahan di balik kasus ini, pernah datang ke padepokannya.
“Tokoh itu mengaku pernah bekerja sebagai informan pada salah satu lembaga negara yang kemudian dibubarkan. Setelah itu mungkin dia mencari-cari obyek untuk kepentingan pribadi,” kata Dwi Ria Latifa mengutip penjelasan Anand Krishna.
Abrory juga pernah menawarkan damai, yakni kasus yang membelit Anand Krishna itu dihentikan. Penawaran itu disampaikan kepada kuasa hukum Anand lainnya, yakni Darwin Aritonang SH, namun dia meminta imbalan penyerahan aset Yayasan Anand Ashram.
Menurut Dwi Ria Latifa, hal yang sama pernah disampaikan sendiri oleh Abrory kepada salah seorang saksi dari Komunitas Pecinta Anand Ashram.
“Jadi peran Abrory dalam kasus ini amat sentral. indikasinya kuat dalam turut membidani kasus hukum ini. Hal ini terjadi kemungkinan terkait dengan uang,” ujar aktivis pembela hak-hak perempuan dan mantan anggota DPR itu.
Kejanggalan juga terjadi pada saksi lain, seperti Dian Mayasari dan Farahdiba, yang mengaku pernah menjadi korban dari perilaku terdakwa antara tahun 2002-2004, tetapi kemudian menulis apresiasi yang tinggi kepada Anand dalam buku-buku mereka tahun 2005-2006.
“Yang lebih mengejutkan lagi adalah pertemuan saksi Shinta Kencana Kheng dengan ketua majelis hakim sebelumnya, Hari Sasangka, ketika sidang masih berlangsung di Pengadilan,” kata Dwi Ria Latifa.
Dian Mayasari yang juga isteri Abrory itu menolak hadir dalam pemeriksaan ulang walaupun sudah dipanggil berulang kali oleh jaksa penuntut umum (JPU). “Semua itu jelas-jelas tidak wajar dan penuh kejanggalan,” ucapnya.
Sementara itu Darwin Aritonang SH menjelaskan, dalam persidangan pihaknya sempat memprotes adanya bukti-bukti yang sudah berubah saat proses penyerahan. Termasuk adanya bukti-bukti tidak relevan yang berusaha diserahkan oleh JPU Martha P Berliana Tobing kepada majelis hakim.
“Majelis hakim sempat menolak bukti rekaman video yang tidak ada kaitanya dengan klien kami. Rekaman itu jelas-jelas telah diedit,” ujarnya.
Diakui bahwa pada sidang sebelumnya, JPU juga pernah menyelipkan barang bukti sebuah kalung yang tak ada dalam daftar sitaan. “Anehnya, barang bukti itu kini tiada lagi,” kata Darwin Aritonang.
Dia juga mengungkapkan adanya bukti berupa dua buah buku fotokopian dengan judul Metodologi Cuci Otak dan di bawahnya tertera nama Anand Krishna, sehingga terkesan ditulis olehnya.
Padahal, katanya, buku itu bukan karangan kliennya, sehingga sudah sepantasnya kemudian ditolak oleh majelis hakim.
Dalam persidangan hari itu, majelis hakim akhirnya mengabulkan permohonan pihak kuasa hukum Anand untuk meninjau tempat kejadian perkara (TKP).
Peninjauan TKP untuk mendapatkan perspektif utuh dan verifikasi atas kebenaran kesaksian para saksi di dalam ruang sidang. “Kami berterima kasih kepada majelis hakim yang telah menjadwalkan peninjauan TKP pada kesempatan selanjutnya,” demikian Darwin Aritonang.(PR)