Jakarta (Metrobali.com)-

Bahwa saya Ahmad Alamsyah Saragih, merasa keberatan dan dirugikan atas isi pemberitaan yang berjudul: ‘BCW Laporkan Komisioner Incumbent KIP ke DPR’ pada situs www.metrobali.com karena tidak sesuai dengan fakta dan tidak sesuai dengan etika jurnalisme (cover both side). Sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 5 ayat (2), maka saya berhak untuk menjawab:

1.      Benar saya adalah Ketua Majelis yang menangani sengketa antara Bangkalan Corruption Watch (BCW) melawan PT Telekomunikasi Indonesia Persero (PT Telekom), Cabang Bangkalan. Informasi yang diminta adalah total tagihan rekening telepon Pemkab Bangkalan dari tahun 2005 s.d 2012.

2.      Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mengatur tentang keterbukaan informasi di Badan Publik. Sebelum memutus Majelis harus berhati-hati untuk melihat apakah informasi yang diminta terkait dengan fungsi BUMN sebagai Badan Publik atau fungsi BUMN sebagai Korporasi. Terkait dengan mengapa saya memutus bahwa informasi mengenai total tagihan rekening ke Pemkab Bangkalan adalah informasi yang terbuka namun tidak wajib diberikan, semata-mata adalah karena informasi mengenai total tagihan tersebut dikuasai oleh PT Telekom Cab. Bangkalan dalam rangka menjalankan fungsi bisnisnya, bukan fungsinya sebagai badan publik. Dengan demikian maka tidak ada kewajiban PT Telekom sebagai korporasi untuk memberikannya kepada Pemohon. Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan swasta sejenis. Adapun informasi tersebut jika dikuasasi oleh Pemkab Bangkalan maka informasi tersebut bersifat terbuka dan dapat diakses oleh Pemohon kepada Pemkab Bangkalan. Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca pada Putusan Komisi Informasi Pusat No. 216/VII/KIP-PS-M-A/2012 Pada situs resmi Komisi Informasi Pusat: www.komisiinformasi.go.id pada halaman utama sub domain putusan komisi informasi.

3.      Jika BCW selaku pemohon tidak puas atau keberatan terhadap putusan Majelis, maka sesuai UU KIP dapat diajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan.

4.      Jika ada anggota Majelis Komisioner yang tidak sepakat dalam musyawarah, maka UU KIP memang sudah menjamin haknya untuk melakukan Disenting Opinion yang juga harus dibacakan pada saat pembacaan putusan.

5.      Adapun jika ada dugaan pelanggaran kode etik maka sesuai prosedur dapat diadukan ke Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Pusat dapat menindaklanjutinya dengan menggelar sidang dewan kehormatan untuk menyelesaikan kasus tersebut, bukan dengan menyebarkan opini negatif ke media.

6.      Terkait dugaan pelanggaran kode etik yang disangkakan kepada saya:

a.       PT Telkom (pusat) telah lama (sejak November 2012) berencana mengundang saya untuk membahas tentang kewajiban PT Telkom dalam menyusun regulasi internal yang diwajibkan oleh UU KIP. Pertama mengenai struktur Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, dan kedua mengenai Standar Operating Procedure layanan informasi. Topik yang sama sekali tidak terkait dengan substansi yang disengketakan.

b.      Pembahasan tersebut sangat penting bagi PT Telekom terkait keikutsertaan PT Telkom dalam proses tender di salah satu negara yang memberikan persyaratan agak berbeda dibandingkan tender umumnya, yakni kepatuhan atas seluruh regulasi negara asal (bukan negara penyelenggara tender). Untuk konteks inilah PT Telekom (Pusat) mengundang saya, semata-mata berdasarkan pertimbangan terhadap pengetahuan dan penguasaan atas substansi.

c.       Karena proses penyelesaian sengketa (dari tahap pemeriksaan hingga ajudikasi) cukup lama di Komisi Informasi Pusat dan PT Telekom juga memiliki keterbatasan waktu maka saya diundang untuk menghadiri acara tersebut.

d.      Tidak benar kepergian saya atas inisiatif sendiri. Undangan kepada Komisioner beberapa kali terjadi dengan menyebut nama (hampir semua komisioner pernah mengalami). Namun demikian semua undangan harus diadministrasikan ke bagian umum dan diteruskan untuk mendapatkan disposisi Ketua. Dan kepergian saya telah melalui prosedur tersebut.

 

 Jakarta, 26 Juni 2013

 Ahmad Alamsyah Saragih

 

BCW Laporkan Anggota Komisioner

Uncumbent ke DPR

Sebelumnya, diberitakan bahwa Bangkalan Corruption Watch (BCW) melaporkan anggota Komisioner “Incumbent” Komisi Informasi Pusat (KIP), AS, ke Komisi I DPR RI, karena diduga melanggar kode etik akibat tidak independen dalam menangani sengketa informasi.

 

“DPR harus dapat memilih calon yang independen karena KIP merupakan lembaga semi peradilan yang menyelesaikan sengketa informasi melalui mediasi dan sidang ajudikasi,” kata Direktur BCW, Syukur, di Surabaya, Senin (24/6)

 

Pihaknya telah menyampaikan masukan ke DPR mengenai salah seorang incumbent yang mengikuti seleksi calon Anggota KIP Periode 2013  2017 berinisial AS yang diduga melakukan pelanggaran berat Kode Etik Komisi Informasi.

 

Laporan tersebut masuk ke Komisi I DPR RI setelah sebelumnya melalui media nasional diumumkan bahwa Komisi I menerima masukan dari masyarakat terkait 21 orang calon Anggota KIP yang akan mengikuti “fit and proper test” pada Selasa-Rabu (25-26/6).

 

Di antara para calon anggota KIP yang akan mengikuti uji kapatutan dan kelayakan di Komisi I tersebut terdapat dua orang Komisioner incumbent yakni HSW (Wakil Ketua) dan AS (Komisioner).

 

AS sebagai Ketua Majelis Komisioner telah melakukan tindakan yang diduga merupakan pelanggaran Kode Etik saat menangani perkara sengketa informasi antara BCW dengan PT Telkom. AS melakukan hubungan khusus dengan PT Telkom selaku termohon yang patut diduga mempengaruhi putusan.

 

“Kami merasa kecewa atas putusan itu, baik secara pribadi maupun lembaga seharusnya yang bersangkutan dapat menolak diundang karena saat itu sedang menangani perkara PT Telkom,” katanya.

 

Dalam sidang ajudikasi informasi yang disengketakan adalah permintaan BCW, yang juga merupakan mitra atau jaringan ICW di daerah, kepada PT Telkom atas informasi besaran tagihan telepon SKPD (Kantor-kantor Dinas) di Kabupaten Bangkalan Jawa Timur.

 

Putusan sidang ajudikasi yang dipimpin AS dalam amar putusan dinyatakan “Informasi total tagihan telpon SKPD di Kabupaten Bangkalan merupakan informasi terbuka, namun termohon tidak wajib memberikan kepada pemohon”.

 

“Putusan ini janggal dan merugikan kami. Informasinya terbuka, tapi tidak wajib memberikan. Darimana kami dapat melihat informasinya,” ujarnya. Terhadap putusan itu, BCW menggugat putusan tersebut ke PTUN Surabaya.

 

BCW juga melampirkan sejumlah bukti atas dugaan tersebut dan semakin dikuatkan dengan adanya pendapat beda (dissenting opinion) dari salah seorang Majelis Komisioner dalam kasus tersebut.

 

Dalam laporan tersebut juga dikutip kronologi persidangan. Sidang ajudikasi pertama berlangsung pada 13 Februari 2013 dengan agenda pemeriksaan awal (klarifikasi), kemudian pada 22 Maret 2013 AS dijamu dan diundang secara khusus serta difasilitasi oleh PT Telkom untuk menjadi narasumber dalam kegiatan PT Telkom di Batam.

 

“Mestinya, sebagai Ketua Majelis Komisioner yang sedang menangani kasus PT Telkom, AS wajib menolak undangan tersebut,” katanya.

 

Namun, AS memenuhi undangan tersebut dan menerima fasilitas dari PT Telkom selaku termohon atau pihak yang diadukan dalam sengketa informasi tersebut. Akhirnya pada sidang putusan pada 26 Maret 2013 AS selaku ketua majelis membacakan putusan yang dinilai janggal tersebut.

 

Menurut pelapor, AS patut diduga telah melanggar Kode Etik Komisi Informasi khususnya mengenai Komisioner yang harus bebas dari intervensi dalam mengambil putusan (III angka 3 kode etik Komisi Informasi).

 

Selain itu juga tidak boleh berhubungan dengan para pihak yang patut diduga akan mempengaruhi putusan (IV angka 1 kode etik Komisi Informasi). Pelapor meminta dengan temuan ini agar menjadi pertimbangan untuk tidak meloloskan calon komisioner yang bermasalah. INT-MB