Bali Post, Sabtu 13/7/2013 halaman 6 menyajikan  artikel Widminarko berjudul “13 Juli, 47 Tahun yang Lalu Penggranatan Fakultas Sastra Masih Disimpangsiurkan.”  Judul yang tendensius ini memperlihatkan Tuan menuduh ada pihak yang sengaja menyimpangsiurkan peristiwa itu. Orang yang Tuan maksudkan ternyata saya. Ini terungkap dalam kalimat Tuan, “Dalam buku ‘Menerobos Badai Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus’ yang diluncurkan 28 Desember 2012, tersaji tulisan yang tidak sesuai dengan faktanya (halaman 343 dan 344).”

Lebih lanjut Tuan mengatakan, “Dalam buku yang ditulis Nyoman Wijaya itu disebutkan, ”penggranatan terjadi 20 Mei 1966.” Sedangkan dari data koran yang Tuan kutip terjadi tanggal 13 Juli. Sayangnya, Tuan tidak mau menyebutkan, bahwa data itu saya kutip dari koran Tokoh, 18-24 November 2003” (yang kalo tidak salah Tuan sendiri sebagai pemrednya), dalam artikel “Love Story Nyoman Asmariani-Prof. Dr. Wayan Bawa (Bagian 2 Habis) Bulan Madu Tiga Kali.”

Tuan pun mempersoalkan, “Mengapa sampai terjadi, dalam buku yang diharapkan dibaca para pewaris sejarah itu, justru tersaji informasi yang tidak benar? Mengapa terpidana I Gusti Gde Rai Weda Adnyana justru tidak disebut-sebut dalam tulisan itu? Saya justru yang balik bertanya, mengapa pula Tuan tidak mau terus terang, bahwa data yang Tuan salahkan itu saya ambil dari hasil wawancara dengan Prof. Dr. I Wayan Bawa tanggal 30 Agustus 2003 seperti yang tercantum pada footnote nomor 92 halaman 344.

Setelah itu Tuan mengajari saya cara menulis sejarah, antara lain supaya saya mengadakan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Tuan juga mengatakan, “Berita dalam koran pun sebenarnya dapat dijadikan sumber informasi. Kliping-kliping yang kebetulan disimpan Darma Putra, peneliti sejarah media dan kebudayaan di Bali yang menjadi sebagian acuan tulisan ini (maksudnya tentu artikelnya Tuan), kiranya dapat dijadikan sumber informasi.”

Saya merasa tersanjung, sebab telah ikut menjadikan rekan saya Darma Putra mendapatkan predikat istimewa itu. Tapi mungkin Tuan tidak tahu atau sengaja tutup mata, bahwa dalam Kata Pengantar untuk bukunya yang berjudul  Wanita Bali Tempo Doeloe (2003: vii), Darma Putra antara lain berkata, “Saya juga berterima kasih kepada Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum, dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, karena berkat kebaikannyalah saya dengan mudah bisa mendapatkan arsip koran mulai dari Surya Kanta, Bali Adnyana, Djatajoe, Bhakti, dan Damai…”

 Lebih jauh, Darma Putra  mengatakan, “Wijaya juga menjadi teman diskusi yang baik ketika kami berdua diundang oleh Adrian Vickers sebagai anggota tim peneliti untuk bekerja selama dua bulan di University of Wollongong tahun 1988. Wijaya-lah yang mengarahkan perhatian saya pada arti pentingnya arsip-arsip untuk penelitian kesejarahan.” Selengkapnya bisa dilihat dalam buku itu.

Selanjutnya, Tuan mengatakan, “Kesalahan kecil bisa dihindari jika penulisnya mengecek di lapangan bahwa yang benar lokasi rumah Ida Bagus Mantra saat itu di utara rumah Ngurah Bagus, bukan di sebelah selatannya.” Untuk koreksi yang satu ini, Tuan benar dan saya yang salah. Pikiran saya ketika menulis buku itu ada pada rumah R. Goris (yang sekarang ini berpindah tangan ke orang lain, karena beliau tidak punya keturunan).

Demikianlah, andaikan tujuan Tuan mau jujur menyebutkan sumber data yang saya gunakan, tentu tidak perlu repot-repot berkata, “Pertanyaan besar yang berkembang dan belum terjawab hingga sekarang adalah siapa dalang di balik peristiwa penggranatan FS tersebut dan apa motivasinya. Sebelum pertanyaan tersebut terjawab, kini publik dikagetkan tulisan sejarawan Nyoman Wijaya sebagai bagian dari biografi Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus asal Peguyangan (di balik pertanyaan besar itu lebih lengkap juga dapat dibaca dalam buku ”Memilih Jalur Autodidak” yang akan segera diluncurkan).”

Tetapi dengan adanya iklan tersembunyi itu, akhirnya saya tahu ada relasi-relasi kuasa di balik artikel Tuan. Rupanya Tuan sedang mempraktekkan teori Wacana dan Kekuasaan Michel Foucault. Langkahnya, tuan menangkap pengetahuan dalam wacana penggranatan Fakultas Sastra yang ada dalam buku saya untuk dijadikan kekuasaan. Kekuasaan itu adalah disposisi, manuver, taktik, dan teknik untuk mendisiplinkan “tubuh-tubuh” para penulis yang berani menggunakan data surat kabar sebagai sumber utamanya. Jika berhasil, maka dengan kuasa yang Tuan miliki, Tuan akan mudah melakukan pengontrolan atas semua buku yang menggunakan data surat kabar di Bali.

Demi mencapai tujuan itu, Tuan menggunakan kliping-kliping koleksi Darma Putra sebagai “CCTV”, dengan harapan terjadi hubungan ordinasi dan sub-ordinasi, antara tuan dengan para penulis, khususnya di Bali. Jika menyadari hubungan itu, maka mereka pun berada dalam posisi sub-ordinasi Tuan. Akibatnya mereka akan merasa takut menulis apalagi menerbitkannya menjadi buku, sebab dengan kuasa yang tuan miliki, dengan mudahnya Tuan akan mengawasi bait demi bait tingkat keaslian dan dapat dipercayanya data yang mereka gunakan dalam menulis. Dalam posisi seperti itu, Tuan telah berhasil mempraktekkan teori Kuasa Disiplin Michel Foucault.

 Jika  hubungan ordinasi dan sub-ordinasi itu berlangsung tanpa disadari, maka itu artinya Tuan sudah berhasil mempraktekkan Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Dalam posisi seperti itu, semua penulis yang sudah terhegemoni akan menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepada Tuan. Apapun perkataan Tuan, tak peduli salah atau benar akan mereka dengarkan, telan mentah-mentah.

Tanpa mengutip pernyataan Tuan, para penulis itu tidak akan merasakan dirinya sebagai seorang penulis yang berbobot. Jika sebagian besar penulis di Bali terhegemoni, maka buku yang Tuan iklankan akan laris manis pada saat diluncurkan nanti. Orang-orang pun akan datang kepada Tuan untuk dimintakan membuat biografi atau buku sejarah yang menggunakan data surat kabar sebagai sumbernya.

Sebenarnya dengan memakai teori Cultural Studies lainnya, masih banyak yang bisa saya analisis dari artikel Tuan yang tendensius itu. Namun karena hanya dengan dua teori itu saja saya mampu menguliti relasi-relasi kuasa tersembunyi di baliknya, maka lebih baik saya gunakan ruang yang terbatas ini untuk membahas sesuatu yang lebih penting, yakni ketidakjujuran Tuan untuk berkata kepada publik, bahwa wacana penggranatan Fakultas Sastra dalam buku MENEROBOS BADAI hanya sebuah ilustrasi atau hiasan dinding Bab 12 yang berjudul MENGEMBANGKAN FAKULTAS DALAM  KONDISI SERBA SULIT,” setebal 32 halaman, terdiri dari 4 sub-bab.

            Dalam bab itu saya membicarakan pengalaman Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus ketika beliau ikut mengembangkan Fakultas Sastra di tengah-tengah begitu banyaknya tantangan internal dan eksternal yang dihadapinya. Mengingat kompleksnya persoalan saat itu, berarti banyak hal yang harus saya masukan, maka saya pun membaginya menjadi empat sub-bab, yakni i) “Diangkat Sebagai Sekretaris Fakultas;” ii) “Mengikuti Perubahan Situasi Politik,” iii) “Di Tengah Pergolakan Gerakan 30 September 1965,” dan iv) “Terpilih Sebagai Dekan Fakultas Sastra.” Semuanya berjumlah 32 halaman.

Cerita mengenai penggranatan Fakultas Sastra yang Tuan persoalkan itu adalah bagian akhir sub-bab 4 pada halaman 343-344. Dalam sub-bab ini, saya  ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca, bahwa jabatan dekan yang dipercayakan kepadanya, menjadikan Ngurah Bagus kelabakan dalam mengajar. Tapi beliau tak kehilangan akal. Beliau lantas memilih para mahasiswa yang dinilai pantas untuk dijadikan sebagai asisten dosen. Mereka antara lain I Wayan Jendra dan I Wayan Bawa. Kehadiran para asisten itu sedikit membantu, namun tidak membuat beliau tenang dalam berkarya, sebab salah seorang darinya, yakni I Wayan Bawa tersangkut kasus penggranatan Fakultas Sastra.

Untuk sebuah biografi, dengan hanya menampilkan ilustrasi seperti itu, saya rasa sudah cukup. Lain halnya jika yang ditulis adalah buku Sejarah. Informan, yang primer, sekunder, dan tersier tentunya sangat diperlukan. Andaikan saya menulis Sejarah Penggranatan Fakultas Sastra, jika hanya untuk memperoleh data surat kabar tentunya saya masih belum perlu menggantungkan diri sepenuhnya dari Darma Putra. Jumlah data surat kabar yang kami miliki sama, berupa hasil pemindaian secara utuh (bukan kliping seperti yang Tuan sebutkan), melainkan surat kabar terkenal di Bali dari Selasa, 5 Mei 1964 hingga Senin, 31 Desember 1979, milik seorang kawan peneliti asal Jepang. Si pemilik memberi pesan, hanya tiga orang yang diizinkan menggunakan dokumen miliknya itu, dua di antaranya Tuan Darma Putra dan saya I Nyoman Wijaya. Satunya lagi, yang jelas bukan Tuan, tapi Darma Putra telah berbaik hati meminjamkan pada Tuan untuk menulis artikel yang Tuan pakai untuk menohok buku dan profesi saya selaku sejarawan.

Sebagai penutup artikel ini, saya tidak akan mau meladeni Tuan atau orang-orang yang berada di belakang Tuan untuk berpolemik melalui media. Tuan adalah orang media, wartawan senior, dan saya orang kampus. Jika memang ingin menanggapi hak jawab saya ini, maka saya akan menunggu undangan dari Tuan untuk berunding, berdebat atau berdiskusi di tempat yang netral. Alangkah baiknya, acara itu bisa disaksikan oleh publik, apakah disiarkan langsung melalui radio atau ditayangkan melalui televisi lokal nasional, tidak jadi soal bagi saya. Sepanjang menyangkut buku Menerobos Badai dihalaman 343 dan 344 yang Tuan persoalkan itu, maka saya akan meladeni Tuan habis-habisan. Jika pertemuan itu bisa terjadi, maka dari sorot mata atau mimik kita berdua, orang-orang akan mengetahui siapa yang berkepentingan “apa” di antara kita berdua dan “untuk apa.”

Oleh

Nyoman Wijaya

 

 

Pembaca Metrobali.com

Yang terhormat

Salam Sejahtera

Begitu membaca Artikel Widminarko, Bali Post, Kolom Opini hari Sabtu Pon 13 Juli 2013 halaman 6 dengan judul 13 Juli, 47 Tahun yang lalu “Penggranatan Fakultas Sastra Masih Disimpangsiurkan,” saya merasakan ada upaya-upaya yang sistematis untuk menghancurkan karir saya sebagai penulis dan menjatuhkan profesi saya sebagai seorang sejarawan lulusan S-1, S-2, S-3 Universitas Gadjah Mada.

Saya kemudian menggunakan hak jawab dengan cara membuat artikel tandingan. Artikel itu saya kirim kepada Saudara Wirata, Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab Bali Post melalui email pada hari Selasa, 16 Juli 2013 pada siang hari, dan sore hari saya susul dengan kiriman dalam bentuk hard copy.

Terimakasih, hak jawab saya itu telah dimuat oleh Bali Post Kamis Pon, 18 Juli 2013 pada halaman 6, dengan judul : HAK JAWAB ATAS ARTIKEL WIDMINARKO. Namun saya terkejut karena banyak sekali yang dipotong, sehingga pesan yang ingin saya sampaikan hilang begitu saja.

Saya tak berdaya, tidak mungkin meminta supaya Bali Post memuat seutuhnya pada kesempatan lain. Lalu pada kesempatan ini saya minta tolong kepada Metrobali.com supaya mau mengeposkan artikel saya. Tidak ada maksud saya untuk membesar-besarkan persoalan ini apalagi akan membuat polemik berkepanjangan di media massa.

Tujuannya supaya pengalaman ini bisa dijadikan sebagai bahan pelajaran kepada penulis-penulis lain yang mungkin mengalami masalah yang sama dengan saya. Jika teman-teman penulis ada yang mengalami nasib seperti saya, buatlah tulisan yang singkat dan padat, supaya tidak ada kesempatan bagi suatu redaksi untuk mengguntingnya.

Sesungguhnya saya sadar dengan adanya kemungkinan seperti itu. Tapi saya ingin memperoleh hak yang sama. Artikel Widminarko terdiri dari 1328 kata setara dengan 8.074 characters (no space). Sedangkan artikel hak jawab saya terdiri dari 1.373 dengan character (no space) 8.275. Selisihnya sangat tipis. Jika karena adanya selisih yang sangat tipis itu, menjadikan artikel itu harus dipotong, mengapa jumlah pemotongannya begitu. Saya tidak tahu jumlah kata dan karakternya, karena saya tidak menemukannya di Bali Post Online tanggal 13 Juli 2013, apakah karena saya gagap teknologi atau memang tidak ada. Mungkin sahabat-sahabat yang melek teknologi bisa membantunya.

Melalui publikasi ini, saya ingin memperlihatkan bahwa artikel yang saya kirimkan inilah yang sesungguhnya merupakan hak jawab saya atas artikel Widminarko.

Akhirnya, terimakasih kepada Metrobali.com yang mau bersikap independen, karena bersedia mempublikasikan suara hati saya ini.

Semoga ada hikmahnya bagi pembaca Metrobali.com.

Salam Hangat

Nyoman Wijaya