Denpasar, (Metrobali.com)

 

Istilah ‘timpang’ (inequality) digunakan untuk menyebutkan dua kondisi yang kontras dan berbeda terlalu jauh. Sehingga, ke-timpang-an sosial adalah kondisi dimana ada ketidakseimbangan atau jarak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ketimpangan bisa disebabkan oleh perbedaan status sosial, ekonomi, maupun budaya, baik di segenap belahan dunia, termasuk Indonesia.

Hal ini yang mesti jadi catatan selaku tuan rumah pertemuan G20, Oktober mendatang. Bukan sibuk urusan tetek bengek selaku #TuanRumahRamah, seperti got mampet, sampah dst. Sesekali, perlu peran #TuanRumahMarah: suarakan ke-timpan-an global ditengah pandemi, perang, dst. Suatu upaya agar “pulih dan kuat” bersama (recover and stronger together) tercapai.

 

Keadaan dunia, dan Indonesia hari ini mengikuti gambaran Thomas Piketty, Capital in the Twentieth Century. Dalam buku tebal yang luar biasa itu, Piketty mengamati perkembangan modal pada abad ke-20. Dari situlah dia keluar dengan rumus r>g yang terkenal itu. Selama abad yang ditelitinya, return (keuntungan modal) dalam jangka waktu panjang akan mengecilkan pertumbuhan ekonomi.

 

Apa yang disampaikan Piketty adalah bahwa ke-timpang-an ekonomi antara kaum yang menguasai modal dengan orang-orang kelas pekerja (buruh), tani dan si miskin semakin melebar. Ini karena ‘return’ modal semakin membesar sementara upah tidak bisa mengikuti kenaikan keuntungan modal itu. Terjadilah ketimpangan itu, yang kian melebar.

 

Piketty mengatakan bahwa pertumbuhan keuntungan modal itu terjadi tidak dengan sendirinya. Kaum bermodal membiakkan modalnya dengan berbagai macam fasilitas publik –mereka menarik keuntungan dari jalan (toll) yang dibikin secara publik; mereka mendapatkan pegawai yang cakap yang dididik oleh sekolah sekolah yang didanai publik; mereka membuang (mencemari) ruang-ruang publik, dan lain sebagainya.

 

Solusi yang ditawarkan Piketty, harus Pajaki mereka setinggi-tingginya (pajak progresif). Bukan sebaliknya, pajak tinggi (ppn) untuk kaum miskin (crazy poors), kaum rebahan yang perokok, atau pajaki konsumen warung kaki5 ala Mbak Sri.

 

Selain itu, solusi kontroversial lain dari Piketty adalah pajak warisan yang seharusnya ditetapkan setinggi-tingginya. Argumennya, sebagian besar kekayaan yang terakumulasi pada seseorang itu terjadi karena banyak barang-barang publik yang dipakai membesarkan keuntungan (return) modal tersebut didapat secara cuma-cuma. Itulah yang harus dikembalikan kepada publik.

 

Pajak warisan itu seharusnya bisa 70% atau lebih dari yang diwariskan. Orang tidak berhak menjadi kaya tanpa bekerja. Apalagi kekayaan itu diakumulasi dengan memakai fasilitas publik dan publiklah yang menanggung sebagian besar beaya yang kemudian menjadi “r” itu

 

Selain itu, Piketty mengamati bahwa selain perpajakan progresif yang diterapkan hingga tingkat global (sehingga tidak ada pelarian modal dan keuntungannya ke negara-negara ramah pajak), ketimpangan juga bisa diperbaiki dengan memperbaiki sistem pendidikan.

 

Negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang benar-benar baik akan menciptakan ekonomi yang lebih merata. Pendidikan menjadi dasar bekerjanya meritokrasi bukan aristokrasi.

 

Lalu bagaimana dengan pertemuan G20, Oktober ini? Apakah sudah menjadikan ke-timpang-an sebagai dasar untuk menjadi cara untuk “pulih dan kuat bersama” dunia, dan Indonesia? WHO know, tapi sepertinya tetap BaU alias business as usually. Perlu UTurn, ArusBalik, atau Pemuteran, melaui reformasi asset dan akses untuk si miskin, agar ke-timpang-an tidak menjadi episode sinetron tak berkesudahan.

*Ngurah Karyadi, petani dan penulis lepas, alias curi/copet sana sini (RED-MB)