Denpasar (Metrobali.com)-
Gerakan Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB) menuju klimaksnya. Setelah melakukan sosialisasi keliling kabupaten memperjuangkan dana bagi hasil yang lebih adil bagi Bali dari pemerintah pusat (Jakarta) untuk memperkuat daya saing masyatakat lokal, FPHB memberanikan diri bersurat ke Presiden SBY. Dalam suratnya, FPHB yang dimotori sejumlah bendesa adat ini menyampaikan tiga usulan, bidang politik dan hukum, bidang ekonomi, serta bidang sosial budaya. Surat ke Presiden itu disampaikan melalui anggota DPR RI asal Bali, Nyoman Dhamantra yang dikirimkan Selasa (3/7) kemarin.

Dalam bidang politik dan hukum, FPHB mengusulkan adanya penguatan desentralisasi di Bali yang disesuaikan dengan konstruksi ketentuan pasal-pasal dalam  UUD 1945, UU No 64 tahun 1958, UU No 32 tahun 2004 junto UU No 12 tahun 2008, dan UU No 33 tahun 2004. Selama ini aturan-aturan tersebut belum mengakomodir tentang substansi desentralisasi di Bali.

Kemudian dalam bidang ekonomi, FPHB menyebutkan, Bali sebagai salah satu daerah yang sangat potensial di Indonesia dalam menopang perekonomian nasional, khususnya di sektor pariwisasta telah memberikan kontribusi setidaknya 40 persen dari keseluruhan devisa yang diterima dari kepariwisataan. Dari kontribusi tersebut maka Bali berhak mendapatkan dana bagi hasil (DBH), karena Bali memiliki sumber daya budaya dalam pengertian dana bagi hasil lainnya.

Selanjutnya dalam bidang sosial budaya, FPHB menyebutkan, Bali dengan segala keunikannya berupa kearifan lokal sangat memberikan kontribusi positif terhadap eksistensi Bali dan nasional. Karenanya, budaya tersebut harus dijaga, dipelihara, dan dilestarikan oleh masyarakat Bali melalui organisasi tradisional seperti desa adat, banjar, sekaa-sekaa, dan subak dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu harus ada penguatan dan payung hukum terhadap lembaga adat.

Ketua FPHB, DR AA Sudiana yang juga Sekretaris MMDP Denpasar dalam jumpa pers, Selasa (3/7) mengatakan, perjuangan merevisi UU pembentukan Provinsi Bali bukan semata-mata untuk mendapatkan dana bagi hasil. Namun lebih untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat lokal Bali agar tidak terus termajinalisasi. Karena, keberadaan masyarakat lokal Bali akan sangat berpengaruh terhadap pembangunan pariwisata Bali yang selama ini mampu menopang 40 persen penghasilan pariwisata Indonesia. Sebab sebenarnya, pariwisata Bali hanya bisa hidup jika masyarakat lokal Bali tidak termajinalisasi.

“Pariwisata budaya di Bali bisa berkembang karena ada masyarakat adat Bali. Jika orang Bali terpinggirkan, dapat dipastikan pariwisata budaya itu tidak akan pernah ada. Untuk itu, perlindungan terhadap masyarakat lokal Bali harus dilakukan secara sistematis dalam UU Pemerintahan Provinsi Bali,” ujar Sudiana di Denpasar, Selasa (3/7).

Jumpa pers kemarin dihadiri tim perumus di antaranya Nyoman Mardika, AA Lindartawan, juga Ngurah Karyadi. Sudiana berharap, surat yang juga ditujukan kepada Baleg DPR RI dan Menteri Dalam Negeri tersebut segera direspons oleh pemerintah pusat. Dengan begitu, posisi Bali yang hanya punya sumber daya budaya ini sama dengan daerah lain yang punya sumber daya alam. Selama ini, baru provinsi yang punya sumber daya alam saja yang mendapatkan dana bagi hasil yang adil.

“Perjuangan mendapatkan dana bagi hasil untuk bidang sumber daya budaya ini adalah hal baru. Sebenarnya konstitusi telah mengatur itu, namun pemerintah pusat belum menjalankannya. Harapan kami, dengan revisi UU Pemerintah Provinsi Bali, masyarakat Bali mendapatkan haknya yang lebih adil,” papar Sudiana.

Untuk mempertajam perjuangan merebut hak Bali dari pemerintah pusat, Rabu (4/7) ini FPHB menggelar rembug hak Bali di museum perjuangan Bali Bajra Sandhi, Renon. Rembug akan menghadirkan Dirjen Otonomi Daerah, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ketua FPHB, ekonom, dan dari jurnalis. “Rembug hak Bali ini untuk sosialisasi sekaligus menjaring masukan dari berbagai komponen masyarakat Bali agar naskah akademik tentang kekhususan Bali yang akan dimasukan dalam revisi UU Provinsi Bali lebih tajam sehingga pemerintah pusat bisa legowo mengakui kekhusuan yang dimiliki Bali,” ujar Ketua Panitia Rembug, Ngurah Putra SH.

Menurut Ngurah Putra, dengan adanya pengakuan terhadap kekhususan Bali, Pemerintah Pusat punya kewajiban untuk memenuhi hak Bali atas kekhusunan itu. Dengan begitu, masyarakat Bali akan bisa terus melakukan pelestarian budaya. Karena, biaya untuk melestarikan kekhususan budaya Bali sangatlah mahal. “Selama ini, pelestarian budaya itu dilakukan secara swadaya oleh masyarakat adat di Bali. Beban biaya dan waktu  untuk melestarikan budaya itu, telah memperlemah daya saing masyarakat Bali itu sendiri. Kalau ini terus terjadi, proses marjinalisasi terhadap masyarakat Bali sulit untuk dibendung,” tegas Ngurah Putra. NK-MB