Surabaya (Metrobali.com)-

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Timur meminta kalangan jurnalis untuk mewaspadai klausul hibah, bantuan sosial (bansos), dan belanja modal dalam APBD yang merupakan sumber penyimpangan pemerintahan.

“Kalau anggaran hibah dan bansos cukup tinggi berarti pemerintahan yang ada sedang menggunakan APBD untuk biaya politik,” kata pengurus daerah FITRA Jatim Ismail Amir dalam pelatihan ‘Penguatan Pemberitaan Konten Transparansi’ di Surabaya, Senin (22/7).

Dalam pelatihan yang diikuti puluhan wartawan serta sejumlah staf Humas dan LSM dari Sampang, Banyuwangi, Malang, Situbondo, dan Surabaya pada 22-24 Juli itu, ia menjelaskan tingginya hibah dan bansos akan membuat fasilitas publik tidak terurus.

“Kalau APBD banyak terserap untuk hibah dan bansos, maka sekolah, puskesmas, MCK, dan fasilitas publik lainnya akan tetap jelek, karena dananya bocor untuk kepentingan politik dan tidak menetes sampai ke tingkat desa,” katanya.

Selain itu, belanja modal yang rendah atau di bawah 70 persen menunjukkan bahwa APBD yang ada lebih banyak untuk kepentingan pembelian barang dan jasa, seperti kebutuhan kepanitiaan acara tertentu, perjalanan dinas, dan kepentingan non-publik lainnya.

“Kalau belanja modal mencapai 70 persen ke atas menunjukkan kepentingan publik terlayani, karena belanja dalam bentuk infrastruktur atau sarana fisik lebih banyak, seperti jalan, penerangan, jembatan, sekolah, puskesmas, dan lainnya,” katanya.

Menurut dia, urutan penggunaan APBD yang tepat adalah penggunaan untuk infrastruktur diutamakan, lalu mendorong akses masyarakat melalui hibah dan urutan paling akhir adalah meningkatkan mutu aparat pemerintah.

“Kalau hibah diutamakan, tapi infrastruktur atau sarana fisik masih jelek, maka bantuan yang ada tetap tidak akan ada artinya, karena masyarakat masih miskin. Ibarat sekolah, hal utama adalah gedung, lalu isinya seperti laboratorium dan terakhir adalah meningkatkan mutu guru, bukan melatih guru, tapi sarana nihil,” katanya.

Dalam pelatihan yang diadakan AIPD (Australian Indonesia Partnership for Decentralisation) dan JPIP-Institute itu, ia juga menyampaikan dua catatan penting dalam penggunaan anggaran yang patut diwaspadai yakni proyek mercusuar dan defisit anggaran.

“Proyek mercusuar itu juga patut diwaspadai, karena cara itu paling disukai kepala daerah, sebab proyek mercusuar itu merupakan cara paling mudah untuk mengembalikan biaya politik yang digunakan atau cara mudah untuk balik modal, karena itu waspadai,” katanya.

Catatan penting lainnya adalah defisit anggaran. “Defisit anggaran itu wajar, tapi patut diwaspadai kalau solusinya dengan dua cara yakni menjual aset dan utang, karena keduanya merupakan solusi paling akhirnya, sebab masih ada solusi lain yang tepat,” katanya.

Cara lain yang dimaksud antara lain meningkatkan pendapatan, memberlakukan skala prioritas atau mengurangi belanja tertentu, menagih utang pada pihak lain, dan menggunakan “silpa” (sisa anggaran).

Ia menambahkan pemberitaan tentang transparansi anggaran juga mengharuskan wartawan memiliki alat ukur berupa dokumen pembanding dan alat ukur itu dimiliki Kementerian PU, Kemendiknas, dan Kemenkes.

“Pemerintah itu memiliki SPM (standar pelayanan minimal) yang diatur melalui Peraturan Menteri (Permen), misalnya ukuran standar SD yang tepat harus merujuk SPM berupa Permendiknas tentang itu,” katanya.

Pelatihan yang disponsori AusAID itu juga menampilkan narasumber lain yakni pakar media Sirikit Syah (STIKOSA-AWS) dan praktisi media Nanang Purwono (JTV). “Pelatihan serupa akan kami gelar di NTB, NTT, Papua, dan Papua Barat,” kata Direktur JPIP, Rohman Budianto. AN-MB