Komodo yang disita dari perdagangan satwa ilegal yang diamankan Balai Besar KSDA jawa Timur dan akan dilepas liarkan ke habitat asal, 12 Juli 2019. (Foto: Petrus Riski/VOA)

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Timur melepasliarkan 6 ekor komodo anakan ke Pulau Ontoloe, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (13/7) dini hari. Komodo itu merupakan barang bukti kasus perdagangan satwa liar dilindungi, pada Februari 2019 lalu.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Timur, memberangkatkan 6 ekor anak komodo (Varanus komodoensis) ke Pulau Ontoloe, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang disita dalam kasus perdagangan satwa ilegal yang diungkap dan digagalkan Polda Jawa Timur pada Februari 2019 lalu.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno mengatakan, pelepasliaran ke habitat asalnya merupakan pilihan yang terbaik untuk satwa hasil kejahatan perdagangan ilegal. Pemerintah bersama para pihak akan melakukan pengawasan pasca pelepasliaran satwa langka dilindungi, yang hanya ada di Indonesia.

“Yang paling ideal adalah satwa liar itu setelah proses hukum mencukupi, itu kembali ke alam. Tapi kembali ke alam ada proses, pentingnya untuk memantau, pakai chip ada yang bisa pakai GPS, dan seterusnya, dan pemantauan di alam untuk beberapa lama. Dipastikan dia (komodo) sudah terbiasa dengan kondisi kemampuan berburu dan bertahan hidup di sana,” ujar Wiratno.

Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno (tengah), dan Kepala BBKSDA Jawa Timur Nandang Prihadi (kedua kanan) memberi keterangan pers terkait pelepasliaran satwa komodo. (Foto: Petrus Riski/VOA)
Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno (tengah), dan Kepala BBKSDA Jawa Timur Nandang Prihadi (kedua kanan) memberi keterangan pers terkait pelepasliaran satwa komodo. (Foto: Petrus Riski/VOA)

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Timur Nandang Prihadi mengatakan, syarat pelepasliaran telah terpenuhi sehingga penyelamatan satwa hasil kejahatan perdagangan ilegal dapat tetap dilakukan, meski proses hukum terhadap pelaku kejahatan masih berlangsung.

“Segala prosedur pelepasliaran sesuai dengan prasyarat IUCN sudah kita tempuh. Pertama adalah persetujuan pelepasliaran komodo dari Dirjen KSDAE, itu sudah keluar April 2019, atau tepatnya 24 April 2019,” papar Nandang.

“Kemudian persetujuan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, untuk melepas liarkan komodo sudah kita terima, KSDA Jatim sudah menerima penetapan itu nomor 1261 dan 1267 tanggal 12 Juni 2019, dan nomor 1593 tanggal 13 Juni 2019,” ujarnya.

Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Dini mengungkapkan, proses hukum terhadap para terdakwa pelaku perdagangan satwa liar dilindungi telah masuk pada agenda penuntutan dengan mendengarkan keterangan saksi maupun terdakwa. Para pelaku, kata Dini, mengaku menjual anakan komodo dengan harga antara Rp 12 juta hingga Rp 17 juta melalui media sosial.

Pelaku juga mengaku telah melakukan transaksi sebanyak 41 ekor komodo sejak 3 tahun terakhir, dengan tujuan utama ke luar negeri.

“Mereka memasukkan dengan cara melalui ekspedisi, ekspedisi yang tentunya ilegal, di masukkan dalam suatu tabung. Mereka (terdakwa) ada yang memelihara, ada yang memperniagakan dan mempromosikan melalui facebook, kemudian juga melalui WA,” kata Dini menjelaskan.

Satwa komodo di kandang sementara sebelum dipindahkan ke kandang khusus untuk dibawa ke Flores Utara, tempat pelepas liaran, 12 Juli 2019. (Foto: Petrus Riski/VOA).
Satwa komodo di kandang sementara sebelum dipindahkan ke kandang khusus untuk dibawa ke Flores Utara, tempat pelepas liaran, 12 Juli 2019. (Foto: Petrus Riski/VOA).

Dari hasil pemeriksaan atau uji DNA keenam komodo oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), diketahui asal komodo yang diperdagangkan itu berjenis kelamin betina dan berasal dari Flores Utara, dan bukan berasal dari Taman Nasional Komodo. Nandang Prihadi mengatakan, sebelum dilepas liarkan ke habitat asalnya, keenam komodo dipasangi microchip mendeteksi dan memantau gerak dan pertumbuhan komodo yang akan dilepas liarkan.

“Keenam komodo ini sudah kita pasang chip, jadi sudah ada kode-kodenya chipnya, hanya memang belum diberi nama, jadi namanya masih nama dari kode chip itu,” ujar Nandang.

Deni Purwandana selaku Koordinator Program dari Yayasan Komodo Survival Program mengatakan, pemantauan akan dilakukan bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Nusa Tenggara Timur (NTT), selama anakan komodo berada dalam kandang habituasi atau kandang persiapan di Pulau Ontoloe. Pembiasaan di lokasi pelepasliaran untuk memantau kemampuan komodo bertahan hidup dan merespon lingkungannya.

“Dalam rencana ke depan, Komodo Survival Program dengan BBKSDA NTT, akan melakukan habituasi minimal 3 hari di kandang habituasi. Jadi di situ kita pastikan bahwa mereka (komodo) siap, mungkin nanti pas sama dengan yang di sini kalau diberi tikus itu responnya bagaimana, kita juga perhatikan. Mungkin paling lama sampai 6 hari, itu akan dipantau satu persatu,” kata Deni. [pr/uh] (VOA Indonesia)