Kantor PLN Pusat 

SLOGAN layanan publik yang prima, yakni Sewaka Dharma (melayani adalah kewajiban) sejatinya merupakan spirit andalan revolusi mental bagi kinerja aparatur sipil negara (ASN) dalam berbagai jenjang instansi/insitusi birokrasi pemerintahan termasuk lembaga plat merah dari badan usaha milik negara (BUMN) seperti Perusahaan Listrik Negara, PLN (Persero). Sehingga, warga masyarakat betul-betul dapat merasakan ataupun menikmati layanan cepat, tepat, mudah, murah serta efektif dan efisien.

Menyikapi realitas tersebut, lembaga plat merah, PLN (Persero) bahkan telah mencanangkan inovasi program PLN Bersih, yakni membuat sistem pelayanan yang transparan dalam meminimalkan pertemuan tatap muka pelanggan dengan pegawai PLN, mengubah sistem pengadaan barang dan jasa melalui e-procement dan melakukan pembelian langsung ke pabrik.

Di samping itu, juga membuat sistem penanganan keluhan pelanggan, layanan pasang baru, tambah daya secara online melalui Contact Center 123, atau melihat informasi pada Official Fans Page PT. PLN (Persero) dan website http://www.pln.co.id, serta twitter @pln_123.

Bahkan, pembayaran tagihan listrik PLN telah mengalami perubahan yang signifikan dengan menerapkan sistem online, drive thru, kantor pos, gerai ATM sejumlah bank, ataupun loket pembayaran tagihan listrik online. Dalam konteks ini seakan menegaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah prioritas utama dari program PLN Bersih.

Namun, faktanya program PLN Bersih, ataupun slogan Sewaka Dharma (melayani adalah kewajiban) demi layanan publik yang prima justru dicap publik (warga masyarakat) masih sekadar macan kertas, dan tak terbukti nyata di lapangan. Bahkan, disinyalir telah terjadi praktik demokrasi feodalistik berbasis premanisme bergaya ego sektoral secara kebablasan.

Keluhan warga masyarakat atas layanan publik dari ego sektoral kinerja PLN (Persero) tersebut, di antaranya munculnya lembaga “preman” berlabel SLO (sertifikat laik operasi), yang semakin mempersulit pelanggan (konsumen) untuk mendapatkan layanan publik prima terkait sambungan listrik baru siap pakai (menyala).

Adapun lembaga “preman” berlabel SLO ini adalah pihak Komite Nasional Keselamatan Untuk Instalasi Listrik (KONSUIL) ataupun Perkumpulan Perlindungan Instalasi Listrik Nasional (PPILN), yang telah dipercaya PLN (Persero) untuk mengeluarkan SLO setiap terjadinya permintaan sambungan listrik baru dari para pelanggan (konsumen) dengan biaya administrasi tanpa batas yang tak rasional, tak wajar atau tidak logis. Simak juga ulasan berita berjudul Listrik Pintar, PLN Tak Cerdas? (metrobali; 9/8/2015).

Akibatnya, PLN (Persero) dicap publik telah didikte ataupun dikoptasi oleh  kolega/mitranya, yakni sebuah lembaga nirlaba atau nonprofit dari KONSUIL ataupun PPILN, sehingga tak berdaya (gagal) dalam melayani kepentingan warga masyarakat sebagai pelanggan (konsumen) secara cerdas, bermartabat, berbudaya dan berkeadaban dengan kualitas layanan cepat, tepat, mudah, murah serta efektif dan efisien.

Dalam konteks ini, PLN (Persero) acapkali terpaksa harus menjual produk (kWh meter) listrik prabayar (pulsa/voucher/elektrik/digital) bodong alias tak siap pakai (menyala), karena seolah-olah dituntut harus mengantongi SLO dari KONSUIL ataupun PPILN. Sehingga, hak warga masyarakat sebagai pelanggan (konsumen) pun terabaikan secara permanen tanpa ada solusi yang aplikatif.

Implikasinya, di era teknologi serba canggih ini muncul kesan bahwa setiap warga masyarakat sebagai pelanggan (konsumen) seakan dianggap tidak cerdas atau tidak terdidik, tidak paham dan kurang mengerti ketenagalistrikan, sehingga diduga secara sadar merasa dapat dan boleh diperbudak ataupun dibodohi untuk mendapatkan keuntungan tanpa batas bagi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu terkait oknum PLN (Persero) dan kolega/mitra kerjanya, KONSUIL ataupun PPILN. Sungguh, aneh dan lucu, bukan?

Bahkan, PLN (Persero) sebagai lembaga plat merah dicap publik mengabaikan kewajiban dan tanggungjawab serta dianggap tidak profesional karena telah gagal dalam mengimplementasikan kebijakan dari peraturan perundang-undangan negara, di antaranya UUD’45 terkait pasal 33 ayat 1 dan 2, dan UU No. 30 tentang ketenagalistrikan terkait pasal 29 ayat 1. 

Tak pelak, telah menjadi rahasia publik bahwa beragam peraturan negara acapkali dianggap tumpang tindih alias mubazir karena kenyataan sesungguhnya tidak mampu melindungi kepentingan publik (warga masyarakat) secara utuh, holistik dan menyeluruh, serta berkelanjutan.

Celakanya, justru sebaliknya malahan disinyalir memberi peluang bagi oknum atau pihak tertentu yang merasa kuat dan memiliki kekuatan khusus (premanisme) untuk melakukan tekanan ataupun tindakan pemaksaan kehendak secara legal atau dilegalkan dengan berlindung dibalik kebijakan penguasa birokrasi institusi atau instansi terkait yang menjadi kolega/mitra/kroninya, demi kepentingan keuntungan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu.

Keluhan lainnya, yakni terjadinya penyegelan sambungan listrik secara sepihak dari PLN (Persero) tanpa surat teguran atau konfirmasi langsung kepada warga masyarakat sebagai pelanggan (konsumen), karena terjadi kerusakan sistem dari program pembayaran online.

Di mana, pelanggan yang sudah bayar dalam sistem muncul belum bayar, ataupun sebaliknya yang belum membayar justru tercatat sudah membayar, sehingga pelanggan merasa dipermainkan dan dibuat kebingungan. Artinya, saat akan bayar dikatakan sudah ada yang bayarkan, atau sebaliknya saat sudah bayar malahan dikatakan belum bayar hingga secara mendadak listrik diblokir/disegel.

Tak pelak, pelanggan pun merasa dirugikan, sedangkan PLN (Persero) seakan tak mau disalahkan ataupun merasa bersalah, sehingga tidak perlu bertanggungjawab atas kerusakan sistem pembayaran online tersebut. Intinya, segala kerusakan sistem yang terjadi secara langsung dianggap sebagai tanggungjawab pelanggan. Sungguh tragis sekali, bukan?

Bahkan, terjadi keluhan pelanggan (konsumen) ketika membeli pulsa/voucher listrik prabayar tidak bisa/dapat token 20 digit hingga listrik pun padam (mati) hanya karena telah terjadi koreksi kesalahan sistem administrasi keuangan dalam program kebijakan PLN (Persero). Ini berarti disinyalir bahwa segala beban biaya yang dapat mengurangi keuntungan PLN (Persero) secara terpaksa harus dibebankan kepada pelanggan.

Lebih ironis lagi, keluhan pelanggan saat mengajukan sambungan listrik baru dipaksa harus menunggu berbulan-bulan tanpa kepastian meskipun telah membayar segala bianya secara lunas di muka/depan. PLN (Persero) justru malahan menyampaikan informasi bahwa keterlambatan pemasangan sambungan listrik baru dengan beragam alasan mulai dari tidak tersedianya kWh meter yang diinginkan, hingga ditawarkan kWh meter lain yang tersedia, tapi ujung-ujungnya muncul alasan karena kekurangan daya listrik.

Fakta ini, sangat aneh dan lucu, bagaimana bisa warga masyarakat di perkotaan tak punya listrik ataupun mendapatkan layanan listrik. Jika, warga masyarakat di pedesaan tidak dapat listrik mungkin saja masih dapat dianggap wajar. Jika hal ini sampai dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusinya, apa kata dunia.

Secara logika, semestinya keluhan pelanggan seperti ini tidak boleh terjadi di kawasan perkotaan seperti Kota Denpasar, sebagai Ibukota Provinsi Bali–yang sangat tersohor secara global di seluruh dunia. Karena hal seperti ini justru dapat menodai konstruksi mahaagung sebuah pencitraan publik dari kualitas kinerja PLN (Persero) dalam memberikan pelayanan publik yang prima bagi warga masyarakat sebagai pelanggan (konsumen).

Apalagi, listrik kini telah menjadi kebutuhan vital yang tidak bisa dipisahkan dalam berbagai kegiatan, baik di tingkat rumah tangga hingga sentra usaha atau bisnis. Intinya, listrik disebut sebagai nafas kehidupan yang mampu mengubah pola pikir dan sikap kritis warga masyarakat dalam menghadapi kemajuan dari peradaban global.

Dalam kata lain, kinerja BUMN plat merah, PLN (Persero) sudah semestinya semakin cerdas dan profesional di era revolusi mental dari program Nawacita kabinet kerja birokrasi pemerintahan dalam ketatanegaraan negeri ini. Sehingga, pelayanan publik terkait ketenagalistrikan tidak semakin terbaikan, dan dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Tentunya, dengan kualitas layanan prima yang cepat, tepat, mudah, murah, efektif dan efisien secara bermartabat, berbudaya dan berkeadaban, demi upaya peningkatan kepercayaan serta tingkat kepuasan pelanggan, warga masyarakat. WB-MB