Denpasar (Metrobali.com)

 

Semakin pulihnya sektor pariwisata Bali yang ditunjukkan dengan tingginya okupansi hotel yang melampaui ekspektasi saat Nataru 2022 lalu setidaknya berbanding lurus pada animo masyarakat terhadap sektor properti. Diyakini kebutuhan hunian semakin meningkat seiring dengan tingginya mobilitas masyarakat di Bali. Masih ada optimisme terkuat meski dibalik bayang-bayang resesi ekonomi melanda dunia.

Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Bali, I Gede Suardita di Denpasar, Kamis (19/1/2023).

“Pencapaian penjualan rumah komersil pada tahun 2022 secara akumulasi berdasarkan laporan perbankan, khusus pembiayaan KPR tumbuh sebesar 18 persen. Maka target 2023 akan lebih tinggi dari sebelumnya,” terang Suardta.

Sedangkan untuk rumah subsidi, secara umum pemerintah telah menaikkan anggaran dari 22 Triliun menjadi 25 Triliun untuk tahun 2023. Dimana akan ada 230 ribu kuota hunian rumah bersubsidi secara nasional.

“Namun, faktanya kenaikan kuota rumah subsidi belum diimbangi dengan harga jualnya. Apalagi di Bali, pasarannya masih 168 Juta hingga saat ini. Harapan kita, dengan naiknya inflasi di material bangunan, pemerintah sudi kiranya menaikkan harga rumah subsidi layaknya di angka Rp 200 Jutaan lah dan lokasinya bisa di kota,” tambah Suardita.

Pihaknya belum mengetahui secara pasti apa yang menjadi kajian pertimbangan pemerintah sehingga belum juga menetapkan kenaikan harga jual rumah bersubsidi. Sebab faktanya, masyarakat Bali sangat membutuhkan rumah subsidi. Selain harganya terjangkau, suku bunganya yang rendah yaitu 5 persen dan tidak terpengaruh SBI.

Hal ini memang harus segera diputuskan penetapan kenaikannya, kalau tidak, pengembang menganggap sektor pembangunan hunian rumah subsidi tidak menarik lagi, artinya tidak menguntungkan lagi seiring dengan kenaikan harga material bangunan, “Bahkan bisa beralih ke penjualan rumah komersial saja,” pungkas Suardita. (hd)