Denpasar (Metrobali.com)-

Bagi sebagian masyarakat Bali, “deleme pernikahan dalam budaya Bali” masih menyisakan berbagai pertanyaan yang cukup mendasar. Sebut saja “pernikahan beda wangsa, beda agama, nyeburin dan pada gelahang”. Demikian terungkap dalam diskusi ringan dan Acoustik Session yang dihadiri ratusan mahasiswa FISIP-UNUD serangkaian Badan Kekeluargaan FISIP UNUD ke-3 Jumat, 25/5/2012, bertempat di Nabeshima Creative Space-Jl.Padma Penatih Denpasar.

Diskusi kali ini menghadirkan Pembicara yaitu DR. Dra. Ni Luh Kebayantini, M.Si (UNUD) dengan tema; “perkawinan beda wangsa masyarakat Bali Hindu” yang dimoderatori oleh Ni Made R. Amanda Gelgel, S.Sos.

Kebayantini mengatakan,” perkawinan bukan semata-mata pengaturan urusan sex laki dan perempuan, tapi merupakaan fase kehidupan manusia (catur asrama) yang dirayakan atau disahkan secara adat/agama yang sakral sekala dan niskala,”paparnya.

Dijelaskan, dalam beberapa penggolongan perkawinan dalam masyarakat Bali Hindu, semisal perkawinan turun wangsa, dijumpai adanya “sanksi sosial” seperti perubahan nama bagi perempuan yang memiliki wangsa lebih tinggi menikah dengan masyarakat dengan wangsa biasa. Hal ini terkait pula pada hak pewarisan dan gender.

“Dalam hal kewajiban, wanita Bali sangat diperhitungkan oleh keluarga dan lingkungannya. Namun dalam urusan hak, wanita Bali sering di nomor duakan, “tandas Kebayantini. Terkait dengan pertanyaan mahasiswa tentang delema perkawinan beda kasta, Kebayantini menegaskan, di Bali tidak dikenal dengan sitilah kasta, yang ada adalah warna, namun sering dipersepsikan sebagai kasta,”imbuhnya.

Pembicara kedua, Made Nurbawa membawakan topik, “Membedah hakekat perkawinan adat Bali”. Munculnya perkawinan yang bermasalah dalam keluarga inti, diyakini berdampak buruk terhadap tatanan kearifan desa adat/pakraman.

“Saat ini kearifan budaya/adat Bali telah ditabrak oleh arus globalisasi tanpa penjelasan yang pantas dari Guru (Hulu),”tegas Nurbawa yang juga Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bali.

Disamping faktor dominasi kekuasaan, munculnya berbagai system/penggolongan perkawinan di jamannya bisa jadi merupakan solusi atas “kasus spesifik” yang terjadi dikalangan tertentu, namun dalam perkembangannya justru menjadi latah bahkan cendrung melanggar hak-hak asasi manusia.

Diharapkan, sebelum melangsungkan pernikahan hendaknya banyak bertanya kepada guru (Catur Guru-Red), dan sebaliknya orang tua sebagai Guru Rupaka, Guru di sekolah sebagai Guru Pengajian, dan pemerintah sebagai Guru Wisesa dapat memberi bimbingan kepada generasi muda tentang hakekat perkawinan yang benar. Menyikapi kondisi sosial masyarakat yang banyak  memiliki anak tunggal, maka system perkawinan “Pada Gelahang” yang menstatuskan laki dan perempuan sebagai Purusa, secara hakekat tidak bertentangan dengan adat Bali maupun ajaran Agama Hindu, tegas Nurbawa.

Adanya beragam pertanyaan yang cukup mendasar dari kalangan mahasiswa, membuktikan pentingnya mensosialisasikan lebih intens tentang hakaket perkawinan adat Bali Hindu kepada generasi muda.  BD-MB.