Ilustrasi

Oleh : I Gde Sudibya
Menyimak data Neraca Garam Nasional, selama 5 tahun terakhir, kebutuhan garam selalu lebih besar dari produksi, sehingga himbauan  untuk lebih sering menemui petani garam tidak lagi mencukupi.
Ada sejumlah permasalahan mendasar yang harus dipecahkan, bagi sebuah negeri yang garis panjang pantainya dari Barat ke Timur sekitar 8,500 km tetapi tetap tidak mampu berswasembada garam. Ada apa sebenarnya Negeri Ini.
Perkiraan impor Kebutuhan Pangan Pokok, Januari – Mei 2021 ( ton ), Kompas, Rabu, 17 Maret 2021:
1. Kedelai: 1.046.978.
2.Bawang Putih: 257.824.
3.Daging Sapi/ Kerbau: 111.296.
4.Gula Pasir: 646.944.
Ternyata untuk Kebutuhan Pangan Pokok, kita masih tergantung pada impor.
Jebakan Pangan Murah
“Ada sederet contoh bagaimana kebijakan pangan murah menyebabkan Indonesia dalam ketergantungan impor yang semakin akut. Selain kedelai yang produksinya terus turun sejak 1992, lalu digantikan oleh kedelai impor yang tumbuh kian dominan. Ada pula gula, bawang putih, susu dan daging sapi, garam, dan tidak menutup kemungkinan komoditas pertanian lain yang impornya perlahan menggusur hasil panen dan sumber penghidupan petani di dalam negeri “.
“Oleh karena itu, importasi pangan karena alasan menstabilkan harga di tingkat konsumen atau menekan inflasi tak bisa sembarangan agar tidak mematikan usaha dan motivasi petani di dalam negeri. Kebijakan pangan murah bisa jadi candu yang mematikan dalam jangka panjang “.
Mukhamad Kurniawan, Kompas, Rabu, 17 Maret 2021.
Beberapa catatan kritis untuk Kebutuhan Pangan Pokok: beras, garam, kedelai, bawang putih, daging sapi/kerbau dan gula pasir yang diimpor yang mesti menjadi pusat perhatian pemerintah Indonesia.
Pertama : Sudah semestinya Kebutuhan Pangan Pokok ke depannya tidak semata-mata diserahkan ke mekanisme pasar global dengan alasan semata-mata mendapat harga lebih murah di pasar internasional, karena akan berdampak terhadap: penghasilan petani produsen di dalam negeri, ketahanan pangan nasional, dan mengakhiri ironi: sebuah negara tropis dengan sumber daya cukup, tetapi kebutuhan pangan pokoknya tergantung impor.
Kedua : Sudah semestinya, pemerintah ke depan mencanangkan program yang lebih serius untuk program swasembada pangan, mulai dari: penyediaan lahan, insentif produksi, pilihan teknologi, paket perkreditan yang layak, teknologi pasca panen, program stabilisasi harga dari perspektif kepentingan petani produsen.
Ketiga : Sudah semestinya, kebijakan di sektor pertanian, memberikan perlindungan kepada masyarakat petani yang mempunyai posisi tawar lemah secara ekonomi dan politik, pemberi pekerjaan lebih dari 30 persen angkatan kerja, dibebaskan dari kegiatan perburuan ekonomi rente, yang sangat merugikan petani dan juga membuat kerentanan dalam pengadaan stock pangan nasional.
I Gde Sudibya penulis yang tinggal di Denpasar, Bali