Nyoman Tirtawan

Denpasar (Metrobali.com) –

Kasus dugaan penyerobotan tanah di Batuampar, Desa Pejarakan, Gerokgak, Buleleng, belakangan belum menemui titik terang. Padahal, warga pemilik lahan telah mengadu ke Menteri Agraria dan Tata Ruang, hingga Presiden RI Joko Widodo.

Tak mau kasus ini berlarut-larut, DPRD Provinsi Bali pun memberikan perhatian khusus. Pasalnya, ada 77 KK warga di Batuampar yang nasib dan masa depannya sangat tergantung pada lahan yang sesungguhnya telah mereka garap dan miliki sejak tahun 1959 itu.

Berdasarkan hasil pertemuan warga dengan para wakil rakyat, terungkap beberapa kejanggalan terkait penyerobotan lahan ini. Salah satu kejanggalan tersebut, berupa dugaan upaya manipulasi yang dilakukan Pemkab Buleleng.

Dugaan upaya manipulasi itu, terkait keberadaan bukti Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah di Batuampar. Sebab setelah dicek, ternyata Pemkab Buleleng tidak memiliki HPL di lahan tersebut.

“Sebenarnya Pemkab Buleleng tidak punya HPL di Batuampar. Sebab dokumen HPL-nya, setelah ditunjukan tidak ada sama sekali. Copyan sertifikat yang diberikan ke DPRD Bali dan masyarakat, juga tidak ada objek atau lokasi HPL,” jelas anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali I Nyoman Tirtawan, di Denpasar, Minggu (21/6).

Ia mengaku, pihaknya sudah meneliti semua dokumen dan bukti-bukti lain atas lahan milik warga yang saat ini diserobot pemerintah. Selain dugaan manipulasi, kejanggalan lainnya yang ditemukan adalah terkait klaim Pemkab Buleleng.

Tirtawan menilai, Pemkab Buleleng telah melakukan klaim sepihak atas tanah milik para petani di Batuampar ini. Klaim sepihak, lantaran Pemkab Buleleng dengan serta-merta menyebut bahwa tanah yang sesungguhnya milik warga tersebut adalah aset milik Pemkab Buleleng.

“Bagi kami di DPRD Bali, ini sesuatu yang sangat ironis. Mengapa dokumen abal-abal atau palsu dan tidak ada korelasi logika hukumnya itu, justru dipakai untuk mendelegitimasi sertifikat hak milik (SHM) asli milik rakyat?” tanya politisi Partai NasDem asal Buleleng ini.

Kejanggalan selanjutnya, demikian Tirtawan, dalam HPL abal-abal itu, tertulis asal usul perolehan dari pemberian. Tetapi di dokumen aset, asal perolehan justru dari pembelian.

“Yang sangat memalukan, jika memang benar asal usul aset dari pembelian, mengapa justru tertulis dengan harga pembelian nol rupiah?” kata anggota Fraksi Panca Bayu DPRD Provinsi Bali itu.

Jika benar HPL Nomor 1 Tahun 1976 adalah asli dan bukan abal-abal, menurut dia, maka tidak mungkin juga Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan (SK Mendagri) Tahun 1982 untuk 55 petani Batuampar. “Apa seceroboh itu Mendagri saat itu? Jelas HPL itu janggal,” tutur Tirtawan.

Tirtawan menyebut, selain SK Mendagri, bukti kepemilikan lahan tersebut sesungguhnya ada sejak tahun 1959. Sebab, sertifikat hak milik atas nama Atrabi, Sutra, Pak Niasi masing-masing seluas 5000m2 dan 7500m2, 8000m2 serta 7000m2, justru sudah terbit sejak tahun 1959 dalam bentuk sertifikat putih.

Terhadap berbagai kejanggalan serta fakta ini, Tirtawan mengingatkan para pejabat Pemkab Buleleng termasuk bupati Buleleng, akan konsekuensi hukum atas kasus ini. “Sebab, pejabat yang menggunakan dokumen palsu untuk menghalangi hak konstitusi rakyat, bisa terancam hukuman pidana 5 tahun penjara,” pungkasnya. MSE-MB