Oleh : Jro Gde Sudibya

Demokrasi prosedural nyatanya memerlukan biaya yang amat sangat mahal, menyedot anggaran negara yang besar dan sumber daya masyarakat yang juga besar, tetapi melahirkan kepemimpinan yang “begitu begitu saja”, yang jauh dari harapan publik. Prilaku politik transaksional, menghalalkan semua cara, amat sangat jauh dari keteladanan dan idealisme Bapak Ibu Pendiri Bangsa, politik adalah panggilan mengabdi buat negeri, politik adalah sebuah keutamaan – political virtue-. Istilah yang sering diucapkan Presiden Soekarno dalam perjalanan panjang perjuangannya mengabdi negeri.
Muncullah fenomena, politik adalah panglima dalam artian yang sebenar-benarnya, pertimbangan politik sempit untuk peningkatan elektoral dalam rangka pemenangan “pertarungan” politik merebut dan mempertahankan kekuasaan menjadi pertimbangan utama, bila perlu dengan mengorbakan kebijakan publik yang otentik yang bertujuan peningkatan kesejahteraan umum. Phrase “kesejahteraan umum” kerap dipergunakan sebatas gimmik politik, tipu muslihat politik , dalam rangka peningkatan elektoral (yang nyaris menjadi “berhala” yang dipuja) untuk memenangkan kompetisi politik at all cost, termasuk penggunaan dana publik yang sebetulnya hak warga negara.
Lahirlah fenomena leader less’ society, masyarakat yang kurang terurus akibat kepemimpinan marginal (pas-pasan), karena “back mind” pemikirannya nyaris total untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan melalui kalkulasi elektoral. Dengan motif bawah sadar (ego dalam pandangan Sigmund Freud) ketakutan akan kehilangan kekuasaan, sehingga kompetisi politik sebagai hal lumrah dalam proses demokrasi yang sehat, menjadi mirip pertarungan antara hidup dan mati.
Sebuah kemunduran jauh (set back) kehidupan demokrasi berkualitas.
Akibatnya banyak sekali kebijakan penyediaan jasa publik (public utilities) yang tidak terurus, pengelolaan sampah, perawatan jalan, transportasi, pendidikan (yang bias kepada bagian masyarakat yang punya uang). Persekolahan Bali Mandara yang jelas memihak “wong cilik” dan berhasil menjalankan misi amanah pasal 34 UUD 1945 “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara”, justru ditutup demi pertimbangan elektabilitas.
Industri pariwisata yang telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Bali hampir selama 50 tahun, mati suri selama 3 tahun terakhir akibat pandemi, tidak ditata dengan baik, dengan visi jelas, melibatkan stake holders pariwisata, tetapi yang lahir kebijakan reaktif tanpa perencanaan matang dan tidak memikirkan dampaknya secara luas. Kembali fokusnya kepada kepentingan elektoral, menguras dana APBD, fokus pada proyek mercu suar yang pada dasarnya merugikan masyarakat secara kultural, lingkungan, “dibungkus” dalam bentuk luar “bebungahan” kulit, yang bisa bisa mengecoh sebagian masyarakat, tetapi intinya merugikan “nilai-nilai dalam” subtansi kehidupan.
Leader less society identik dengan masyarakat yang tidak terurus dari kebijakan publik otentik, “meracuni” masyarakat dengan pragmatisme politik berlebihan yang pada akhirnya merugikan kepentingan publik.
Masyarakat mesti belajar dari perjalanan sejarah di banyak negara, kepentingan umum dikorbankan begitu panjang akibat kurangnya kesadaran akan manufer politik mengatasnamakan rakyat, tetapi pada dasarnya mengingkarinya.

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), kelompok diskusi intelektual Hindu.