Denpasar (Metro Bali),

Banyak konflik di desa pakraman bukan karena persoalan kaedah atau hakekat adat, tapi lebih banyak karena masalah “Pis” (uang), jadi bukan  kelembagaan adatnya yang harus diperbaiki, tapi tujuan menjadi anggota atau krama adat itulah yang harus diperbaiki. Hal itu dikatakan, Wakapolda Bali, Ketut Untung Yoga saat sebagai pemateri pada Sarasehan Adat Bali dengan tema “Peran MDP Bali dalam Pencegahan Wicara Adat”  yang dilaksanakan di Gedung Wiswasabha Utama,  Jumat, (2/12).

Menurut Untung Yiga, Polri dalam strategi penggulangan kamtibmas termasuk konflik di desa pakraman, tetap melakukan koordinasi dengan MDP sebagai upaya pencegahan dini melalui strategi  perpolisian masyarakat (Community Policing).

‘’Tugas pokok Polri sudah sangat jelas sesuai Pasal 13 UU No. 2/2002 yaitu; memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,’’ katanya seraya menambahkan yang perlu dibenahi adalah bagaimana membangun pola koordinasi  yang efektif dengan seluruh komponen masyarakat.

Sementara itu, I Dewa Putu Mantera, SH., MH Kabang Bidang Politik dalam Negeri  Kesbang Pol dan Linmas Provinsi Bali dalam pemaparannya lebih banyak mempertegas peran pemerintah daerah dalam  mencegah wicara adat.

Dikatakan, secara umum latar belakang munculnya wicara (masalah)  adat disebabkan oleh beberapa fac\ktor. Adanya kepentingan memperebutkan pengaruh dibidang politik, ekonomi dan sosial. Dendam yang berkepanjangan. Cemburu sosial antar desa pakraman. Pola pikir masyarakat yang masih mengedepankan suryak siu. Belum jelasnya bukti-bukti asset milik desa pakraman; dan belum selesainya secara tuntas masalah adat yang pernah terjadi  sehingga berpotensi menimbulkan konflik yang lebih besar.

Untuk itu pemerintah daerah Bali akan terus berupaya meningkatkan kapasitas lembaga adat baik dari pihak desa pakraman maupun Bendesa Pakraman selaku SDM yang mempunyai kewenangan untuk mengatur tata kelola adat yang ada diwilayahnya.

Ketut Sumarta Penyarikan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP), mengatakan, saat ini masih banyak prajuru  adat yang belum memahami  dan mengenal unteng (hakekat) parikrama kauripan adat Bali. Hal ini salah satu faktor mengapa problema di desa pakraman di Bali  kini terus saja terjadi. Pemetaan wicara adat Bali kini dan upaya pencegahan oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) menjadi sangat penting, dan wajib menjadi perhatian semua pihak. Semestinya konflik di desa pakraman tidak terjadi, karena prinsip dasar desa pakraman mengedepankan kebersamaan dan kesepakatan.

Saat ini, pemetaan wicara adat Bali kini sudah dilakukan oleh MDP Bali, bahkan sudah dirumuskan beberapa program prioritas untuk melakukan upaya-upaya pencegahan. Tinggal implementasinya saja.  “Silahkan masyarakat seluruh  desa pakraman di Bali mempelajari dan mengimplementasikan di wilayahnya masing-masing, papar Ketut Sumarta sambil mempersilahkan peserta datang langsung ke sekretariat MUDP Bali untuk melakukan koordinasi.

Sarasehan dibuka oleh Bendesa Agung MUDP, Jero Gede Putu Suwena Upadesa, S.H. Dalam sabutannya, bendesa Agung MUDP mengajak semua komponen untuk mencintai desa pakraman. MUDP akan terus mengupayakan pencegahan wicara adat Bali sesuai dengan tata titi adat Bali dan tidak ada pelanggaran hukum. ‘’Semoga hasil sarasehan ini tidak hanya diwacanakan, tapi segera dilaksanakan oleh seluruh desa pakraman di Bali, “ harapnya.

Sarasehan kali ini merupakan tindak lanjut sarasehan MUDP Bali sebelumnya,  dengan harapan adanya masukan-masukan masyarakat terkait dengan implementasi  program wicara adat Bali kini yang sudah disusun oleh MUDP. Menurut ketua Panitia, Gede Arya Sena, sarasehan  terselenggara atas kerjasama MUDP dengan Fakultas Hukum Uiversitas Dwijendra. Sarasehan mengundang 200 peserta dari berbagai unsur;  mulai dari lembaga pemerintah, Komisi I dan IV DPRD Bali, DPRD Kab/Kota se-Bali,  Universitas se-Bali, Kapolres se-Bali, MMDP kab/kota se-Bali, KPID Bali, KPUD Bali dan pihak-pihak terkait lainnya. (MN).