Jakarta (Metrobali.com)-

Buku perjalanan hidup politisi Partai Amanat Nasional, Bima Arya, yang ditulis oleh Fenty Effendi, Sabtu (27/7) sore, diluncurkan di Aula Universitas Paramadina, Jakarta.

“Tidak mudah ‘memaksa’ Bima Arya yang pada akhirnya menceritakan bahwa ia pernah mengalami masa-masa bangun jam tiga dini hari untuk mencuci mobil-mobil, membersihkan toilet di bar, memetik anggur, menjadi petugas ‘traffic control’ proyek pembangunan jembatan layang dan banyak pekerjaan kasar lainnya,” kata Fenty Effendi di sela-sela peluncuran itu.

Dalam buku yang diterbitkan Gramedia berjudul “Titik Balik Bima Arya” itu sejumlah tokoh hadir memberi testimoni tentang Bima Arya sebagai tokoh muda Indonesia yang inspiratif, cerdas, dan bersih.

Buku itu melibatkan beberapa narasumber mulai dari para sahabat sampai para tokoh seperti pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, Anies Baswedan, Dikdik Maulana, Hatta Rajasa, Najwa Shihab, Pandji Pragiwaksono, Prof. V. Bob Soegoeng Hadiwinata, Udjo Project Pop, Velix V. Wanggai dan Wanda Hamidah.

Fenty Effendi menjelaskan bahwa menuliskan sosok seorang tokoh dengan gaya bertutur “saya” merupakan tantangan tersendiri.

“Kepercayaan diri bisa membuat seorang seseorang berlebihan dalam menceritakan sesuatu. Sebaliknya, kesungkanan sang tokoh menonjolkan diri akan mengaburkan pencapaian-pencapaiannya,” katanya.

Karena itu, kata dia, pada fragmen-fragmen tertentu perjalanan hidup Bima Arya, ia meletakkan kepingan-kepingan sudut pandang sejumlah orang yang pernah bersinggungan dengannya.

Terkait mengapa judul buku itu “Titik Balik”?, ia menjelaskan karena setiap orang pasti akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan hidup dan masa masa menentukan yang mengubah arah hidupnya, termasuk pada Bima Arya.

Bima Arya, kata dia, adalah anak gaul yang dari SMA sudah menyetir mobil sendiri, kuliah dengan rambut gondrong dan memakai anting, dan termasuk beruntung bisa mencicipi liburan ke luar negeri.

Ia menjelaskan bahwa buku itu bercerita dengan bahasa yang sangat lugas perihal transformasi Bima Arya di beberapa titik balik kehidupannya.

“Termasuk masa masa sulit dan jatuh bangun kehidupannya di usia yang sangat muda,” katanya .

Fenty kemudian menggarisbawahi tokoh yang ditulisnya bahwa “Tidak ada orang yang besar tanpa cobaan, tanpa rintangan, tanpa masalah. Anak muda, temukan ‘titik balik’ kalian!,”.

Bima Arya, selain dikenal sebagai Ketua DPP PAN, setahun terakhir juga dipercaya menjadi Ketua Umum Paguyuban Bogor.

Ia lahir di Rumah Sakit Soekoyo, Paledang Bogor pada 17 Desember 1972. Pendidikan dasar diselesaikan di SD Polisi IV Bogor, melanjutkan di SMPN 1 Bogor, dan lulus dari SMAN 1 Bogor tahun 1991.

Selanjutnya, ia kuliah di Fisip Universitas Parahyangan Bandung, meneruskan kuliah untuk mengambil master di bidang Studi Pembangunan Monash University Melbourne, Australia pada 1988 dan lulus doktor dari Australian National University (ANU) Canberra, Australia pada 2006.

Mantan aktivis mahasiswa ini memiliki banyak pengalaman organisasi dan kepemimpinan.

Ia dipercaya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni SMAN 1 Bogor (2009-2012) dan Ketua PP Keluarga Besar Putra-Putri Polri (2010-2015).

Saat ini juga mengajar di Universitas Paramadina, menjadi konsultan di berbagai lembaga internasional dan pembicara di berbagai forum mengenai isu-isu kebangsaan, kepemudaan dan kepemimpinan.

Dalam perkembangan karir politiknya, Bima Arya terjun ke dunia nyata perpolitikan dengan mendeklarasikan diri menjadi calon Wali Kota Bogor pada Maret 2013.

Ia berpasangan dengan Usmar Hariman dari Partai Demokrat dalam ajang Pilkada Kota Bogor pada September mendatang.

Bima Arya menyatakan bahwa maju dalam Pilkada bukan untuk tujuan menjadi wali kota semata.

“Lebih dari itu, adalah keinginan bersama-sama warga dalam upaya perjuangan untuk perubahan Kota Bogor lebih baik, lebih membanggakan, dan masyarakatnya lebih sejahtera,” katanya.

Menurut dia, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa ia maju dalam Pilkada Wali Kota Bogor.

Pertama, lima generasi terakhir dari keluarganya lahir, tinggal dan berkarya di “Kota Hujan” itu.

“Sehingga wajar bukan saya berbakti untuk kota kelahiran dan kampung halaman sendiri,” katanya.

Alasan kedua, kata dia, adalah wasiat dari orang tua (Alm) Brigjen Pol Drs Toni Sugiarto, seorang tokoh Bogor yang merupakan Ketua Umum Paguyuban Bogoriensis (1993-1997), yang berpesan bahwa sebaik-baik orang/umat adalah yang dapat memberi manfaat kepada orang lain.

“Jadi, ketimbang jauh-jauh, sebaiknya kita membaktikan diri untuk kampung halaman sendiri dulu,” kata doktor ilmu politik lulusan ANU itu.

Sedangkan ketiga, usianya saat ini sekitar 40-an, di mana untuk mengabdi dan berbuat sesuatu tidak harus menunggu senior atau berusia tua.

“Dan untuk berbakti lebih baik di saat pada masa produktif,” katanya menegaskan. AN-MB