Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)-

Menyangkut Besakih di menjelang piodalan Bethara Turun Kabeh, pasca proyek pemugaran bernilai Rp.950 M., dapat diberikan catatan, terutama ke semeton Bali yang masih bersetia merawat dan menjaga tradisi keyakinan yang untuk pertama dicanangkan oleh Rsi Markandya, dilanjutlan oleh raja raja ternama Bali, Cri Aji Jayapangus, Gunapriya Dharmapatni – Udayana Warmadewa, Ida Dalem Waturenggong.

Menurut Ekonom, pengamat ekonomi politik Jro Gde Sudibya dalam kosmologi ruang Besakih (sebelum pemugaran), Wantilan Manik Mas, tidak dikenal, yang diketahui Wantilaan Cri Kesari Warmadewa di sisi Timur Bencingah Agung, mengenang dan menghormati Cri Kesari Warmadewa, raja pertama yang membangun Besakih, pasca (rentang waktu yang jauh) pemendeman Panca Datu ring ambal-ambal Besakih kini berdiri Pura Basukhian.

Sementara itu, lanjut dia wantilan baru yang diberi nama Wantilan Manik Mas, lokasinya berada di antara Pura Titi Gonggang dan Pura Manik Mas, dalam pemahaman Ida Dalem Waturenggong bersama “sahabatnya” yang menjadi Bhagawanta Dang Hyang Dwijendra adalah “padang datar” “ruang kosong” menuju dalam bahasa sekarang Kesadaran Tuhan.

“Dalam sosiologi agama masyarakat Bali, direlasikan dengan upakara “Nyegara Ukir” pasca upakara pengabenan telah banyak diulas,” kata Jro Gde Sudibya.

Dikatakan, penyebutan Kawasan Suci Pura Agung Besakih, merujuk ke “jejer kemiri Pura ring sawewengkon Basukhian”, semoga memang benar-benar menggambarkan kesucian dan keagungan diri dari para “manggala” yang bertanggung-jawab dalam pemugaran dan sekarang menjadi manggala dalam pujawali ring piodalan Bethara Turun Kabeh.

Sebut saja dapat mengikuti jejak saja Mpu Semeru (dalam penataan”final”), Sangkul Putih dalam ategepan aed upakara lan pemuput melalui uncaran gentha “Bajra Uter” yang “membahana” dan “melegenda” itu. Dan mengikuti ketulus-tekunan dari Wiku Tapini Ida Pedanda Istri Mas dari Griya Buda Keling di masa lalu yang dekat.

Kesucian yang direlasikan dengan “Sukla”, kebersihan, keotentikan dan kesucian itu sendiri, yang merupakan landasan bhakti “tarpana”, “menyenangkan” para Dewa untuk “mececingak” ring merca pada, melahirkan vibrasi kecerdasan, ketenangan dan kejernihan bagi Bali yang banyak mengalami “tekanan” dan “musibah”di sana sini. (Adi Putra).