Denpasar, (Metrobali.com)

Proyek dana negara senilai Rp.950 Miliar dinamakan pemugaran Besakih dan menjaga kesuciannya, ternyata telah dan akan menggeser Besakih dari sakral menuju profan.

Sakral berkaitan dengan spirit, sistem nilai kehidupan yang berelasi dengan: kebersihan, ketenangan, rasa persaudaran, kesunyian, perdamaian, kedamaian ( di hati), kesucian dan rasa kedekatan dengan Tuhan. Nilai-nilai kehidupan yang banyak dituntun oleh kearifan lokal masyarakat Bali belajar dari alam, dan kemudian sastra keagamaan Itihasa Ramayana dan Maha Baratha.

Pada sisinya yang lain, yang diametral profan, berkaitan dengan hal-hal fisik duniawi, bentuk luar, dan hal-hal yang berhubungan sebab-akibat dari hubungan sosial ekonomi yang total skala sifatnya.

Profanisasi Besakih, bisa berwujud :

Pertama, bentuk luar yang megah kaya ornamen, monumen yang dipertontonkan.
Besakih sebagai wadah luar yang dipertontonkan, dan jangan lagi kita bicara substansi (baca spiritualitas).

Kedua, Besakih akan menjadi bagian dari budaya Bali yang dipertontonkan, bahkan “dijual” dalan paket narasi ceritanya, pada tamu yang sudah begitu jenuh dengan kehidupan: industrialisme, materialisme dan juga induvidualisme, sekadar sebuah tontonan dalam masa jeda libur mereka.

Para tamu akan melihat kita dan kebudayaan kita, sebagai “the other”, pihak yang lain, berbeda dengan mereka, layak dijadikan tontonan, dengan sikap superior (merasa lebih tinggi) dengan budaya dan kebudayaan yang ditonton.

Profanisasi ini secara pelan dan bisa secara cepat menggerogoti spiritualitas Besakih, merubah tata pikir krama Bali tentang banyak hal: sistem keyakinan, spiritualitas, rujukan etika dan moralitas kehidupan. Upakara dan prosesinya akan semakin tidak metaksu . Di menjelang puja wali bethara turun kabeh, melasti ke segara watu klotok, lebih sebagai tontonan bagi para turis yang datang, yang diharapkan mengeluarkan uangnya lebih banyak dan mempertebal “kantong” para pengusaha wisata.

Jangan lagi kita mengharapkan prosesi sakral, metaksu, menyucikan dari Watuklotok – Semarapura – Banjar Angkan – Toh Jiwa – Sidemen – Tebola – Besakih.

Sejarah Bali komtemporer akan mencatat, 23 tahun memasuki abad ke 21, profanisasi Besakih terjadi, merupakan keputusan penguasa Bali, dan krama Bali nyaris tidak berbuat apa-apa dalam proses destruktif terhadap Besakih.

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma ), anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999- 2004, mendampingi Gubernur Dewa Made Beratha dalam masa kepemimpinannya di bidang: sosial, agama dan kebudayaan, penulis beberapa buku tentang Agama Hindu dan Budaya Bali.