Denpasar (Metrobali.com)-

Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 dinilai kadaluwarsa. Oleh karena itu, pemerintah pusat (Presiden dan DPR) wajib membentuk UU baru tentang pembentukan Provinsi Bali. Demikian mengemuka dalam “Rembug Hak Bali: Revisi UU Pembentukan Provinsi Bali” yang digelar Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB) di Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon, Rabu 4 Juli 2012.

Diskusi yang dimoderatori Made Suantina dihadiri aktivis FPHB, akademisi, tokoh adat, politisi, hingga aktivis mahasiswa. Menurut Suantina, wacana merevisi UU Nomor 64 tahun 1958 bukan ulah orang yang tak punya kerjaan. UU tersebut, kata dia, boleh dibilang sudah gugur demi hukum. Karena itu, tambah dia, wacana revisi UU tersebut agar Bali mempunyai pijakan hukum sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Salah besar kalau wacana ini sebagai gerakan separatis atau untuk kepentingan perorangan,” katanya.

Mantan Ketua DPRD Badung IB Suryatmaja menekankan, memperjuangkan hak Bali ke pusat, bukan perkara enteng. Di sini diperlukan kekuatan yang dignifikan. ”Perlu kebersamaan dan penyatuan energi yang tinggi untuk merebut hak Bali di pusat,” kata Suryatmaja.

Sementara AA Wisnumurti, mantan Ketua KPUD Bali, mengungkapkan, revisi UU pembentukan Provinsi bukan hanya persoalan hak ekonomi. Melainkan, kata dia, juga menyangkut hak politik, hak sosial dan hak budaya. Kata dia, Bali selama ini termarjinalkan baik secara politik, sosial dan budaya. “Sebenarnya merevisi UU itu bukan hak, tetapi merupakan kewajiban pusat,” ujarnya.

Wisnumurti mengungkapkan, UU Nomor 64 Tahun 1958 bukan UU pembentukan Provinsi Bali, melainkan UU tentang pemekaran Provinsi Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi, yakni Provinsi Bali, NTB dan NTT. Karena itu, sambungnya, yang dibutuhkan bukan revisi UU Nomor 64 Tahun 1958, melainkan harus dibentuk UU baru tentang pembentukan Provinsi Bali. Ia juga mengungkapkan dasar hukum UU Nomor 64 Tahun 1958 adalah UUD Sementara, bukan UUD 1945. “Jadi memang perlu dibentuk UU yang baru tentang pembentukan Provinsi Bali,” tandasnya.

Wisnumurti, yang juga dosen yang Universitas Warmadewa ini, mengatakan, perlu gerakan untuk memperjuangkan terbentuknya UU baru tersebut. Gerakan tersebut harus terstruktur dan sistematis, dengan melipatkan setidaknya tiga kelompok. Yakni gerakan intelektual yang terdiri para akademisi. Gerakan kultural dengan melibatkan kelompok sipil, serta gerakan struktural yang melibatkan pemerintah daerah, partai politik dan politisi.

“Sebenarnya gampang untuk menggolkan perjuangan ini. Tinggal Nyoman Dhamantra mengetuk hati  Ibu Megawati, Gede Sumarjaya Linggih mengetuk hati Pak Ical, dan Pasek Suardika mengetuk hati Anas Urbaningrum, semua akan beres. Sebab, tiga orang ini wakil Bali yang ada di Senayan,” ujarnya.

IB Gede Suryatmaja Manuaba menambahkan, bahwa pihaknya, sepakat untuk memperjuangkan hak-hak Bali di pusat perlu power. “Saya setuju UU ini diganti atau direvisi. Karena itu power perlu dibentuk. Sembilan anggota DPR asal Bali juga harus kompak,” katanya. Jangan sampai pengalaman memperjuangkan UU Otsus terulang. Ketika Pansus Otsus mendatangi DPR, hanya beberapa anggota DPR asal Bali yang menemui.

Ketua Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB), AA Sudiana, mengatakan, revisi UU Nomor 64 Tahun 1958 merupakan kebutuhan yang mendesak dan mutlak bagi masyarakat Bali. Itu untuk melindungi hak-hak konstitusinya secara khusus. Pemerintah dan DPR, kata dia, harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi ini. Dikatakan, merevisi UU Nomor 64 Tahun 1958 sebagai payung hukum yang responsif bagi masyarakat Bali dalam mengatur tata kelola pemerintahan, partisipasi masyarakat, dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya budaya sebagai sumber devisa negara.

Karena itu, pemerintah dan DPR harus melihat secara realistis bahwa Bali telah memberikan kontribusi positif pada pembangunan nasional. Untuk itu, seharusnya ada perhatian khusus dan berimbang bagi Bali dalam memperoleh hak-hak konstitusionalnya.  BOB-MB