Denpasar (Metrobali.com)-

Secara yuridis, UU No 7 Tahun 2017 pada pasal 240 ayat 1 huruf k menegaskan kewajiban mengundurkan diri dari jabatan bagi “karyawan badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara”. Pasal 280 ayat 2 melarang ketelibatan kepala desa, perangkat desa dan badan permusyawaratan desa dalam kegiatan kampanye.

“Saya terpanggil untuk memberikan sumbang pikir soal apakah bendesa adat nyaleg harus mundur? Perspektif yuridis dan sosiologis kultural bisa dipakai membaca kasus ini,” kata I Gst Putu Arta Mantan Anggota KPU 2007-2012 menanggapi maraknya kepala desa dan bendesa adat menjadi calon legislatif pada pemilu 2024 mendatang.

Menurutnya, sebagai anggota KPU 2007-2012 yang pernah menjadi Divisi Hukum KPU, saya memberi pemahaman bahwa tarikan nafas dua pasal ini dalam satu rangkaian utuh. UU ingin menghindarkan overlapping anggaran, konflik kepentingan, dan netralitas lembaga di level desa atau apapun sebutannya, dari kegiatan politik praktis. Kampanye saja dilarang, makanya jika mencalonkan diri harus mengundurkan diri.

“Dengan pemahaman demikian maka muncul pertanyaan, jika kades saja tak boleh nyalon dan kampanye, apakah etis, benar dan ini yang diinginkan krama adat, bahwa bendesanya boleh berpolitik praktis dan berkampanye? ” tanyanya.

Menurut Putu Arta, bukankah prajuru adat seharusnya fokus pada pelayanan keagamaan dan adat dan malah harus menjauhi konflik kepentingan politik praktis? Maka menjadi heran bagi saya jika ada yang setuju dan membiarkan bendesa mencalonkan diri dan terjun politik praktis tapi tidak mundur. Kehancuran desa adat akan makin dekat.

Dikatakan, dalam konteks anggaran, ternyata menurut Perda 4 Tahun 2019, sumber keuangan desa adat salah satunya dari APBD Provinsi, bantuan pemerintah pusat dan hibah lainnya. Bukankah ini “bersumber dari keuangan negara” dan karenanya siapa yang dibayar dari uang negara wajib mundur menurut UU?

Lebih lanjut dikatakan, secara sosiokultural, spirit lahirnya desa adat adalah memperkuat krama adat dalam pelaksanaan keagamaan dan adat istiadat, bukan dalam kegiatan politik. Kegiatan politik justru berpotensi menghancurkan dan membelah desa adat. Saya bahkan mengusulkan melarang prajuru adat memiliki KTA parpol agar pengurus adat steril dari kegiatan politik praktis.

“Jadi jelas! Anda bendesa nyalon? Lepas jabatan bendesa,” kata Gst Putu Arta Mantan Anggota KPU 2007-2012. (Adi Putra)