Buleleng, (Mmetrobali.com)

Bak gayung bersambut laporan LSM KoMPaK ke Majelis Desa Adat (MDA) Buleleng dan ke PHDI Buleleng terkait viralnya pernikahan fiktif antara seorang anak keterbatasan mental asal Desa Anturan bernama Gede Sukrada (50) dengan perempuan bernama Laksmi menggunakan sarana prasarana upacara perkawinan adat dan agama Hindu. Artinya prosesi perkawinan fiktif tersebut dianggap dan diduga telah melecehkan banten simbul dari sarana upacara perkawinan adat Hindu.

Hal hasil dari konten video yang di buat akun bernama Jem Tattoo tersebut mendapat tanggapan serius dari Bendesa Adat, Kertha Desa, PHDI Desa Adat Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Dimana pembuat konten video itu dipanggil Bendesa Adat Anturan Ketut Mangku untuk diminta mengklarifikasinya. Dan si pembuat konten Jem Tatto datang bersama Laksmi di Kantor Desa Anturan, pada Sabtu, (4/12/2021) sekitar Pukul 09.00 Wita.

Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah keputusan yang dituangkan melalui surat ditembuskan ke MDA dan PHDI Buleleng.

1. Sesuai penjelasan pembuat konten itu menyampaikan bahwa konten yang dibuat tersebut adalah sebagai sebuah kreatifitas seni yang memuat cerita yang bersifat hiburan dan tidak ada maksud lain.

2. Banten yang dibuatkan dan ditampilkan dalam pembuatan konten tersebut, bukan banten resminya sebuah perkawinan tetapi sebuah banten pejati untuk memohon kepada lda Hyang Widhi Wasa untuk memohon agar pembuatan konten itu nemukan kerahayuan dan kerahajengan agar pembuatan konten itu dapat berjalan lancar.

3.Prajuru Desa Adat ( Bendesa Adat), Perbekel, PHDI Anturan, Ketua Sabha Desa selanjutnya meminta agar dalam pembuatan konten – konten selanjutnya yang melibatkan dan berkaitan dengan warga desa Anturan maupun dan berkaitan dengan tempat pelaksanaannya ada diwilayah Desa Anturan berkoordinasi dengan pihak Desa Anturan.

4 Pihak desa juga minta kepada pembuatan konten, bilamana ada penggunaan simbul simbul keagamaan agar tidak menyalahi tatwa agama.

Terhadap hal ini Ketua LSM KoMPak Angga Tusan mengatakan pihaknya dalam permasalahan perkawinan fiktif ini, hanya ingin meluruskan dan meminta pendapat MDA maupun PHDI Buleleng. Mengingat dalam konten tersebut menggunakan sarana banten yang dianggap sacral, apalagi perkawinannya itu fiktif yang ada koridor dan batas-batasnya.

“Kalau kita melecehkan budaya kita sendiri sebagai umat Hindu yang taat akan ketentuan adat dan agama jangan salahkan nanti orang lain berani juga melecehkan. Disini lah ketegasan MDA untuk mencerahkan umatnya.” ujarnya.

“Kalau bicara pelecehan simbul adat, ada pasal yang mengaturnya. Sudah barang tentu kalau tidak tegas, kita bawa kasus ini ke ranah hukum. Karena kita berkaca pada kejadian sebelumnya, dimana seorang WNA menendang simbul umat Hindu di Lovina, yang berujung diproses hukum, “ pungkas Angga Tusan.

Sementara itu Wakil Ketua KoMPaK, Gede Sarya Tuntun menyampaikan apresiasi atas sikap MDA Buleleng yang telah memberikan teguran kepada pembuat konten melalui Prajuru Desa Adat Anturan, yang dilaksanakan pada Sabtu, 4 Desember 2021.

“Namun sampai saat ini, kami belum melihat ada etikad baik dari pembuat konten untuk minta maaf dan menarik kontennya. Dan dalam hal ini, dari prajuru Desa Adat Anturan terkesan dan sepertinya mengembalikan lagi persoalan ini kepada MDA Buleleng.” ucapnya.

“Jika tetap tidak ada permintaan maaf dan menarik konten tersebut, tidak tertutup kemungkinan akan dilanjutkan ke proses hukum. Mengingat dengan jelas-jelas konten tersebut telah melecehkan simbul-simbul adat Bali dan agama Hindu.” ujarnya menambahkan.

Menurutnya menyiarkan berita bohong dan yang paling memprihatinkan adalah mengeksploitasi “orang yg tidak cakap” untuk memperoleh keuntungan.

“Jelas hal ini selain terindikasi melanggar hukum juga melanggar hak asasi manusia,” tandas Gede Sarya Tuntun. GS