Denpasar (Metrobali.com) –

 

Kegelisahan dua pelaku seni, seni sastra dan seni rupa. Bermula dari cerita-cerita kecil di Café. Entah karena terpengaruh oleh pemikiran filsuf Jerman George Wilhelm Friedrich Hegel atau filsuf lain, Suklu ingin ada dialektika pada karyanya. Oleh karenanya, ia lantas ceritakan gagasan dan konsep Nawa-Sena tersebut pada penyair Mas Ruscitadewi yang berlangsung di KubuKopi, Selasa (21/6/2023).

Karya sastra dari Mas Ruscitadewi yang menurut beberapa pengamat, ‘sangat Bali’. Selanjutnya, Suklu merespon lagi karya sastra tersebut, jadilah 31 karya rupa. Apa yang saya paparkan diatas, merupakan sekilas proses intermingle-lango. Ini merupakan proses ulang-alik kreativitas, dari karya disain ke karya sastra, selanjutnya dari karya sastra ke karya rupa (drawing).

Nawa Sena adalah hasil karya kolaborasi yang mengukuhkan intermingle-lango antara konsep, visual, dan verbal yang dilakukan oleh dua maestro lintas disiplin yakni Wayan Sujana ‘Suklu’ sebagai seorang perupa dengan penulis Mas Ruscitadewi. Art project lawang Nawasena merupakan proyek bersama, diawali seniman sebagai pembuat konsep dan modul-modul. Selanjutnya pemahat mengimplementasikan ke matra tembok kembar sesuai kertas kerja seniman menghasilkan relief multimatra, Mas Ruscitadewi mengkaryakan ke bentuk karya sastra berbentuk novel.

Nawa Sena akan diperkenalkan kepada para seniman, penulis dan masyarakat umum melalui focus group discussion (FGD) pada Jumat 23 Juni 2023 di Gedung Kompas Jl. Jayagiri yang akan dibuka oleh Prof. Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana dengan menghadirkan 5 pembahas atau narasumber yakni Dewa Palguna, Prof. I Nyoman Darma Putra, Dr. I Made Sujaya, Dian Dewi Reich dan Dr. I Gusti Agung Paramita dan moderator I Wayan Juniartha.

Karya yang dibukukan ini terdiri dari 8 bagian. Diawali dengan Lawang Nawasena oleh perupa Suklu yang kemudian direspon oleh tulisan Mas Ruscita Dewi. Lawang Nawasena ini lahir untuk projek bencingah, berupa desain multi dimensional yang akan menjadi relief kontemporer pada sebuah ruang di Pura Besakih. Nawasena sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti masa depan yang cerah. Memiliki karakter ekspresif, mudah bergaul, ‘nyeni’, mudah bicara, menikmati hidup. Nawa juga dapat diartikan sebagai tujuan sedangkan Sena diartikan kilatan cahaya. Sehingga proses dan tujuan ekuivalen satu kesatuan, saling membutuhkan dan mengimajinasikan. Literasi lain di masa lampau menjelaskan kata Nawa berarti sembilan dan Sena merupakan nama tokoh pewayangan. Kata Nawasena disatukan atau dipisahkan, bermakna luas, imajinatif, teologis, sekaligus filosofis. Lawang Nawasena dimaksudkan gerbang datar berisikan kisah Nawa dan Sena.

Kemudian kata Nawasena secara imajiner-rasional yang di gunakan oleh Suklu sebagai bentang konsep dan narasi pembuatan relief bencingah Pura Besakih di sisi Yohana Mandala. Terwujudnya Buku Nawa Sena ini, memberikan iklim yang segar bagi penikmat rupa dan linguistik.

Jugjement masyarakat umum bahwa rupa hanyalah karya ilustrasi pendamping linguistik ataupun sebaliknya, kini dibantahkan dengan Intermingle-Lango yang menunjukkan kolaborasi lintas disiplin. Hartanto__Bali Mangsi dalam sambutannya menjelaskan bahwa proses Intermingle-Lango ini merupakan proses ulang-alik kreativitas, dari karya desain ke karya sastra, selanjutnya dari karya sastra ke karya rupa (drawing) dan terwujudlah buku Nawa Sena ini. (hd)