Denpasar (Metrobali.com)-

Bali tiada hari tanpa kegiatan ritual dan kegiatan itu mempunyai kaitan erat dengan seni yang memberikan vibrasi dan sinar kedamaian, sekaligus  kesejukan setiap hati sanubari umat manusia. Umat Hindu akan merayakan Hari Suci Galingan atau hari Kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan)  pada  penanggalan pawukon kali ini jatuh pada hari Rabu, Wuku Dunggulan, 1 Februari 2012, menyusul sepuluh hari kemudian Hari Raya Kuningan Sabtu (11/2).
Galungan hari raya besar yang dirayakan setiap 210 hari sekali itu ditandai dengan pementasan kesenian Barong, rangda  atau jenis kesenian sakral lainnya  pentas ngelawang pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tradisi ngelawang yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir orang-orang yang bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali. “Eksotisme sebuah pentas seni komunal  masing-masing di depan pintu masuk pekarangan rumah penduduk itu kini semakin langka, karena sangat jarang dipentaskan,” tutur dosen Institut Seni Indonesia (ISI Denpasar I Kadek Suartaya.
Seni ngelawang selain menyuguhkan hiburan, juga diyakini mampu memberi vibrasi kesucian, sehingga penduduk terhindar dari marabahaya,  penyakit atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Pementasan yang unik dan menarik itu berlangsung secara sporadis menyimak ruang dan menerobos waktu, karena pentas itu berpindah-pindah, bahkan masuk gang dan rumah tangga.
Menurut Kadek Suartaya,  seni ngelawang di Bali mestipun tidak punah, namun pementasan yang bertepatan dengan hari raya besar umat Hindu di Bali   semakin jarang.
Padahal pentas seni nomadan   pada tahun 1970-an, mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga  ritual Kuningan.
Pertunjukan keliling desa atau lingkungan yang menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali dalam beberapa tahun terakhir  digerus perubahan zaman.
Meskipun sulit memergoki sekaa-sekaa seni pertunjukan tampil penuh keintiman di tengah masyarakat.
Namun dalam beberapa tahun belakangan  mulai tumbuh anak-anak usia sekolah dasar (SD) pentas keliling di wilayah lingkungannya masing-masing.
Seni ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan.  Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral yang magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat.
Bentuk Perlindungan
Menurut Suartaya benda-benda keramat seperti barong dan rangda  diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat di wilayah lingkungan tersebut.
Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, bahkan warga  yang dapat memungut bulu-bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.
Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala seperti makna pentas ngelawang saat Hari Raya Galungan.
Namun dalam perkembangannya  masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni “balih-balihan” seperti arja, janger, atau joged  juga dapat disaksikan  masyarakat sebagai hiburan.
Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.
Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya yang juga seniman andal asal Kabupaten Gianyar itu, merupakan suguhan seni pentas yang serius, namun  santai.
Untuk mengapresiasinya penonton  tidak harus duduk kaku,  namun  bisa jongkok,  berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan  bergesekan sembari menikmati alam bebas.
Dengan demikian hampir tak ada jarak antara pelaku seni  dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas itu tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu.
Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi  di  bawah pohon besar  yang rindang,  pementasan barong bisa digelar di tepi sungai, drama tari arja bisa hadir di jalan  umum, bahkan di tengah keramaian pasar.
Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks  sakral-magis agaknya semakin redup, padahal tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar.
Rumah-rumah penduduk didatangi sekaa Barong Kedingkling dan figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh  seisi rumah.
Kedatangannya diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul  tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman merajan, tempat suci keluarga.
Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.
Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diperkirakan ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa.
Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang.
Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya.
Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam.
Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.
Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda  hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan  kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan). (I Ketut Sutika/ant)