Jembrana, (Metrobali.com)

 

Sebagaimana diberitakan berbagai media massa, Bupati Jembrana I Nengah Tamba  menggelar sayembara terbuka bagi anggota Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan kelompok tani hutan (KTH) yang mampu menangkap atau memberi informasi komplit tentang pelaku perusakan hutan di Jembrana. Menurut berita, hadiah itu berasal dari kantong pribadi bupati yang nilainya sebesar Rp 2 juta. Pernyataan itu disampaikan I Nengah Tamba saat acara penandatanganan komitmen tertulis masing masing ketua kelompok pengelola hutan di Rumah Jabatan Bupati Jembrana, pada hari Jumat tanggal 21 Oktober 2022 lalu.

Sayembara digelar sebagai bentuk komitmen Bupati menjaga hutan Jembrana disertai harapan dengan terjaganya hutan, banjir bandang tidak akan terulang lagi dan lingkungan Jembrana tetap lestari. Warga pengelola hutan desa dan kelompok tani hutan yang jumlahnya 32 lembaga, diajak berkomitmen menjaga hutan dengan menandatangani surat pernyataan di atas meterai dan menjadi informan pelaku perambah hutan.

Aakankah sayembara itu membuahkan hasil dalam seminggu atau sebulan? Mengapa banyak warga Jembrana yang pesimis?

Seminggu setelah penyampaian sayembara, Jumat, 28 Oktober 2022, belum ada kabar ada informan dari pihak LPHD dan KTH yang berhasil menangkap pelaku pengawenan. Pun belum ada kabar warga selain anggota LPHD dan KTH yang berhasil. Namun, perbincangan mengenai sayembara itu begitu hangat. Sayangnya, meski ramai dibicarakan, warga Jembrana justeru pesimis dengan hasilnya. Selain nilainya terlalu kecil, juga persoalan pengawenan atau perambahan hutan itu diibaratkan gadis kupu-kupu malam dalam lagunya Titiek Puspa; ada yang benci padanya, ada yang rindu padanya dan ada pula yang mati-matian mengejarnya. Kajian etnoekologis dalam tulisan ini menerangkan hal itu.

Kondisi hutan Jembrana paska perluasan ijin pengawenan di akhir tahun 1990an  benar-benar telah berubah. Hutan di utara Desa Yeh Sumbul yang sangat lebat kini tandus, berubah menjadi ladang pisang, duren, nangka, kopi dan tanaman ekonomis lainnya. Di musim kemarau, Yeh Sumbul mengalami kesulitan air untuk pertanian sawah dan ladang perkebunan di desa di bawah. Sedangkan di musim hujan, air bah sering menggemuruh di Tukad Yeh Satang dan Tukad Yeh Sumbul karena mengalirkan air besar, keruh dan potongan kayu serta tanaman lainnya. Kelompok air minum yang dibangun warga desa hampir setiap tahun harus bergotong royong memperbaiki pipa saluran air yang diterjang erosi.

Hutan Jembrana yang luasnya 41.307 Ha lebih, kini sudah rusak. Banjir bandang 16 Oktober 2022 menjadi bukti tak terbantahkan. Membawa dampak kerusakan terparah diantara banjir-banjir yang terjadi antara tahun 2012 – 2022. BPBD Jembrana per Jumat (21/10) melaporkan, banjir bandang ini mengakibatkan 3,957 kepala keluarga terdampak, 56 rumah rusak berat, 388 rumah rusak ringan dan kerugian mencapai 9,8 Miliar rupiah. Data ini belum menghitung kerugian akibat lumpuh totalnya lalu lintas Gilumanuk – Denpasar.

Selanjutnya kaitan antara pesimisme warga dengan hasil sayembara yang digelar Bupati dengan sejarah pengawenan. Penelitian pada tahun 2019 menunjukkan, para pengawen (perambah hutan lindung) masih ada dan aktif menjalankan aktivitasnya di lokasi sejak dulu sampai sekarang. Mereka adalah keturunan para pengawen sebelumnya yang mengakui lahan hutan milik pemerintah, tetapi merasa berhak atas kebun sebagai hak miliknya.

Sejarah pengawenan di Jembrana dapat diketahui dari uraian sejarah Desa Pengeragoan dalam dokumen RPJM Desa Pengeragoan tahun 2012. Disebutkan bahwa, perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan sudah dimulai pada tahun 1919 oleh kelompok pendatang dari berbagai daerah di Bali. Satu di antara kelompok tersebut berasal dari Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, berjumlah 80 orang datang pada tahun 1927. Kini keturunan mereka merupakan masyarakat Dusun Badingkayu, Desa Pengeragoan. Begitu juga dalam dokumen RPJMDes Gumbrih tahun 2012 menggambarkan bahwa pendatang dari Kabupaten Badung dan Tabanan sejak 1910 kemudian berlanjut pada 1915 melakukan perabasan hutan untuk membangun pemukiman dan lahan pertanian.

Penelitian lain menunjukkan perabasan hutan untuk lahan perkebunan kopi di Jembrana sudah dimulai pada 1908, dilakukan berdasarkan ijin dari pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1942, Dewan Raja-Raja di Bali membuka kawasan hutan untuk pemukiman masyarakat, antara lain di wilayah Pengeragoan, terutama di wilayah Badingkayu.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hutan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda dan Dewan Raja-Raja di Bali mencerminkan gagasan antroposentrisme yaitu memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, yang tentu saja bertolakbelakang dengan gagasan ekosentrisme yang menempatkan seluruh subjek yang ada di alam memiliki nilai sama karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem. Catatan ini menunjukkan bahwa, perambahan hutan di Jembrana itu bersifat legal, meskipun disadari atau tidak, fakta ini juga menegaskan pandangan bahwa gagasan yang terkandung di balik kebijakan pemerintah itu merupakan gagasan yang berlawanan dengan gagasan tentang pelestarian hutan.

Menyadari dampak luas pengawenan, berbagai langkah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menangani masalah perambahan hutan ini, seperti memberikan penyuluhan tentang pelestarian hutan serta mengambil tindakan hukum. Namun langkah tersebut tidak sekadar gagal, malahan masalahnya semakin menjadi-jadi dengan semakin maraknya pengawen.

Pada tahun 1975 pemerintah mengambil kebijakan yang tidak mengutamakan pelestarian hutan dengan membiarkan kebun kopi ilegal di tengah hutan Pengeragoan. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa tanaman kopi berfungsi penting dalam pengaturan tata air dan mencegah erosi. Sementara itu para pengawen diwajibkan menyetor sebagian hasil kebun kopinya kepada pemerintah. Ini berarti kebijakan pemerintah dapat dikatakan berstandar ganda. Akibat dari keputusan ini, bukannya melestarikan hutan lindung, malah sebaliknya mengakibatkan aktivitas perabasan hutan kian meluas,. Para pengawen mengikuti kebijakan nyetor hasil, namun sebagai imbalannya mereka memperluas areal ngawen dengan merabas kawasan hutan lindung untuk dijadikan kebun kopi dan pisang.

Pada tahun 1976 pemerintah mengambil tindakan merabas kebun kopi di Badingkayu dan diganti dengan tanaman kayu bayur, nangka, dan lain-lain dalam rangka rehabilitasi hutan sebagai kebijakan yang lebih berorientasi kepada pelestarian hutan. Namun upaya inipun tidak berhasil secara signifikan, sehingga kini hampir seluruh kawasan hutan lindung di sekitar wilayah Desa Pengeragoan telah menjadi lahan perkebunan yang digarap oleh para pengawen setempat.

Mencermati fakta-fakta tersebut, tampak bahwa aktivitas ngawen memang bermula dari keinginan masyarakat memperoleh keuntungan ekonomis dengan memanfaatkan sumberdaya hutan lindung. Namun kebijakan pemerintah yang tidak konsisten menyebabkan masyarakat dengan berbagai langkah melawan hukum melakukan aktivitas ngawen secara terus menerus hingga kini.

Inkonsistensi itu digambarkan  dengan baik seperti lagu gadis kupu-kupu malanya Titiek Puspa. Dikatakan demikian karena dalam manajemen hutan lindung sudah ada peraturan yang secara jelas melarang perambahan hutan, termasuk di dalamnya aktivitas ngawen. Ssecara kelembagaan juga sudah ada lembaga pemerintahan lengkap dengan aparat keamanan, yakni Polisi Kehutanan yang khusus mengemban tugas untuk melestarikan hutan. Lembaga kejaksanaan dan pengadilan pun berkewajiban untuk ikut menangani masalah pelanggaran terhadap peraturan tentang kehutanan. Para pelakunya pengawenan juga sudah jelas, begitu juga areal tempat para pelaku menjalankan aktivitasnya sudah jelas.

Secara logika sederhana, mestinya aktivitas perambahan hutan dapat dihentikan dengan mendayagunakan semua perangkat aturan beserta personelnya secara optimal. Tanpa perlu sayembara. Namun kenyataannya adalah, pelanggaran terus berlanjut, dan kerusakan hutan lindung semakin parah dan meluas yang berarti ada sesuatu yang perlu dicermati kembali dalam manajemen hutan lindung di Jembrana, bukan untuk menyudutkan siapapun, melainkan untuk menemukan solusinya.

Salah satu wacana menarik bahwa dalam pelaksanaan manajemn sumberdaya hutan di Jembrana adalah adanya manajemen kuping bongolin dan mata kidemin dari oknum petugas. Manajemn ini diartikan bahwa dalam melakukan tugasnya, oknum petugas yang terkait dengan kehutanan dan para perambah hutan menerapkan manajemen bahwa mereka berpura-pura tidak memiliki pengatahuan dari hasil mendegar (kuping bongolin) maupun dari hasil melihat (mata kidemin) atas praktek perambahan hutan lindung. Padahal para oknum petugas itu sesungguhnya sudah tahu benar keberadaannya. Oknum petugas berpura-pura tidak pernah ada hubungan apa-apa dengan para pengawen yang sesungguhnya sudah sering diajak berinteraksi. Praktek seperti ini dikatakan sebagai manajemen bernuansa permainan politik pura-pura.

Oknum petugas menerapkan manajemen itu karena para pengawen mempunyai hubungan dengan aparat penegak hukum yang dijadikan modal sosial. Modal sosial dalam hal ini yaitu jaringan sosial yang dimiliki pelaku, baik individu atau kelompok, dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Modal sosial itulah kemudian dimainkan atau ditransformasikan menjadi modal ekonomi, modal budaya, dan modal politik. Hal ini jelas terlihat dalam proses legalisasi pengawenan di akhir taun 1990an lalu dimana elite politik berkepentingan untuk meningkatkan electoral daalam pemilihan umum 1999.

Nah dengan kondisi dan perjalanan sejarah demikian, penulis berkesimpulan, pesimis sayembara yang digelar Bupati Jembrana akan membuahkan hasil. Akan lebih baik apabila dilakukan manajemen mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat sejak perencanaan, implementasi sampai evaluasi dalam menjaga dan melindungi hutan. Konsep pengelolaan dengan menerapkan konsep triwana, yaitu membagi hutan menjadi tiga blok di masing-masing desa, yakni mahawana (alas kekeran hutan tutupan), tapawana (alas nangunyasa yang dimanfaatkan untuk spiritualitas) dan sriwana (alas kahuripan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi). Dibuatkan bhisama dan purananya.

Dewa Rai Anom

Penulis adalah Ketua Forum Pranata Humas Provinsi Bali 2021 – sekarang, Pranata Humas Ahli Madya Bappeda Provinsi Bali