Denpasar (Metrobali.com)-

Jika ingin tetap mampu bersaing dalam industri kepariwisataan dunia, Arts Centre Bali sebagai destinasi budaya secara manajerial wajib berbenah. Ini karena hampir semua tempat yang menjadi objek wisata di dunia berlomba-lomba berbenah untuk merebut hati warganya, wisatawan dan investor. Selain itu, dalam upaya mengoptimalkan aktivitas kreatif seni budaya secara reguler baik bersifat harian, minggu, bulanan, triwulan, semester hingga tahunan harus bersinergi dengan lembaga pendidikan dari tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.  Dengan begitu, Arts Centre Bali tidak terus menerus dicap mati suri dan hanya bergeming saat penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB) semata, serta dicap gagal sebagai destinasi budaya bangsa.

Itulah, sejumlah masukan yang berkembang dan muncul dalam serasehan bertajuk Filosofi Taman Budaya sebagai Daya Tarik Wisata Menuju Paradigma Baru di Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) Renon, Denpasar, Kamis (6/9) kemarin. Dalam kesempatan itu, para narasumber yang terlibat seperti I Wayan Geria, I Gede Arya Sugiartha, Sugi Lanus, dan Arif Budiman secara bergiliran mengungkapkan pandangannya terhadap dinamika sosial budaya yang terjadi di Arts Centre Bali dalam berbagai perspektif yang berbeda dan cukup menggelitik.

Sebut saja, I Wayan Geriya menekankan pada perubahan paradigma berpikir kritis secara publik agar Arts Centre Bali mampu menciptakan sinergi edukasi, ekonomi, ekologi berbasis budaya. Demi penguatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa. Baginya, Bali sangat mampu menjadi mengubah dunia, jika para elite politik penguasa pemangku kebijakan mau berbuat dan bertindak demi kebudayaan bangsa.

Sementara itu, I Gede Arya Sugiartha menyarankan pengelolaan Arts Centre Bali harus memakai manajemen modern, sehingga mampu menjadi destinasi budaya yang bernilai edukasi dan berkeadaban. Selain itu, dia juga menyarakan untuk memikirkan mendirikan Arts Centre Bali yang lebih representatif. Sedangkan, Sugi Lanus menyoroti renovasi gedung Arts Centre Bali yang terkesan tambal sulam dan telah mengabaikan tata nilai adiluhung dari estetika tradisional Bali. Makanya, menyarankan membentuk lembaga konsorsium untuk mengelola manajemen dan sistem administrasi terkait rancang bangun beragam kegiatan seni budaya di Arts Centre Bali secara permanen.

Lebih jauh, Arief Budiman menambahkan bahwa pengelolaan Arts Centre Bali harus berbenah mengikuti peradaban zaman dengan teknologi serba canggihnya, sehingga entitas budaya sebagai model kultural, modal ekonomi dan modal politik sebagai destinasi budaya Bali tidak kalah bersaing dalam industri pariwisata dunia. Makanya, peran dunia pendidikan harus sinergi dan terdepan dalam meningkatkan media komunikasi publik di Arts Centre Bali ke depan.

Dari beragam pandangan itu, rupanya kebijakan politik dan kemampuan pemimpin yang memiliki keberanian serta konsep pemikiran kritis dengan tindakan “gila” dalam menciptakan perubahan masih menjadi kendala utama untuk mewujudkan Arts Centre sebagai destinasi budaya yang edukatif dan berkeadaban. Pasalnya, sampai saat ini belum ada pemimpin seperti itu, sehingga Arts Centre tetap terkooptasi dan terhegemoni tekanan kepentingan persekusi dari etnisitas kelompok masyarakat tertentu di dalam desa pekraman. Tak pelak, Arts Centre pun dicap gagal sebagai destinasi budaya bangsa. IJA-MB