Jakarta (ANTARA) – Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI, Fayakhun Andriadi memperkirakan, angka putus sekolah tahun ini akan jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, karena banyaknya pungutan `aneh` di berbagai jenjang sekolah hingga perguruan tinggi.

“Dari berbagai informasi yang saya peroleh, baik itu di daerah maupun di Jabodetabek, sama saja. Pungutan macam-macam sangat membenani orang tua calon siswa dan calon mahasiswa, akibatnya anak mereka gagal melanjutkan sekolah,” tuturnya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Ia menunjuk salah satu contoh di sebuah perguruan tinggi negeri di Manado, seorang calon mahasiswa akhirnya membatalkan melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Gigi, karena harus membayar di atas Rp75 juta melalui jalur khusus `Sumekolah`.

“Begitu juga ada yang terpaksa harus menunda kuliah di Fakultas Teknik, hanya karena tak sanggup menyediakan dana Rp30 juta melalui jalur tersebut. Untuk Fakultas Kedokteran malah bisa sampai Rp200 juta-an,” ungkapnya lagi.

Dan hal ini, menurut anggota yang sehari-harinya bertugas di Komisi I DPR RI itu, tak hanya terjadi di Manado, tetapi juga berlaku di berbagai kota di Indonesia.

Itu untuk jenjang pendidikan tinggi. Kalau di sekolah tingkat dasar sampai SMA, sama saja. Pungutan untuk pakaian seragam, uang buku, uang bangku, uang pembangunan, uang `ekstra kurikuler` (Ekskul) dengan nilai cukup besar,” tuturnya.

 

Menambah Masalah Baru

 

 

Semua ini, demikian Fayakhun Andriadi (anggota DPR RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta), berpengaruh langsung pada gairah anak didik dari keluarga tak mampu untuk melanjutkan studi.

“Akibatnya, jumlah putus sekolah dipastikan melonjak dan ini akan menambah masalah baru lagi bagi para keluarga di unit masyarakat terkecil, lalu di lingkungan RT, RW, kelurahan dan pada lingkup semakin luas,” katanya.

Berbagai aksi tawuran, keterlibatan anak muda pada penggunaan obat terlarang, serta aksi-aksi kriminal bahkan terorisme, menurutnya, bisa saja karena tak ada pilihan lain, sebab untuk sekolah pun mereka merasa tak sanggup disediakan Negara.

“Padahal, Negara sudah memberikan 20 persen anggaran (APBN) untuk bidang pendidikan. Namun, seperti saya katakan sebelumnya, naiknya anggaran pendidikan, ternyata ikut mendorong keserakahan para pengelola pendidikan untuk meningkatkan berbagai pungutan,” tandasnya.

Fayakhun Andriadi mengingatkan, jika Pemerintah dan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) khususnya acuh tak acuh terhadap ini, serta malah menganggap tak pernah terjadi, dikhawatirkan akan terjadi `bom waktu` berbahaya dalam beberapa tahun ke depan.