SEPEKAN berlalu setelah pernyataan Wakil Ketua Baleg DPRD Bali, Wayan Sudana dan Ketua Baleg Ketut Suwandi, AMB (Aliansi Masyarakat Bali) untuk Perda RUTRWP Bali akhirnya angkat bicara. Mereka menampik semua pernyataan dua anggota dewan yang selama ini terkesan membela aspirasi untuk merevisi Perda No. 16/2009. Bahkan, setelah Ketua DPRD Bali mengeluarkan Rekomendasi No. 593/242/DPRD Bali, 13 Pebruari 2012, yang intinya menyatakan tidak perlu ada penyempurnaan serta meminta Gubernur menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan membuat Ranperda Zonasi serta Peraturan Gubernur terkait, Sudana dan Suwandi sepertinya tak sepaham dengan Ketua DPRD Bali Tjok. Ratmadi. Untuk meluruskan pernyataan soal pasal 150 dan ‘’bumi hangus’’ tersebut, AMB telah menyurati Ketua DPRD Bali dan Gubernur Bali, untuk bertatap muka langsung tentang hal itu, agar tidak berlarut-larut dan menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat.
            Sudana mengatakan, akibat pasal 150 Perda RUTRWP Bali, akan ada ‘’bumi hangus’’ terhadap bangunan di pinggir pantai, dengan mencontohkan villa Megawati Soekarnoputri di Cucukan Gianyar, hotel Bulgari di Nusa Dua, dan lain-lain, yang katanya bisa dibongkar. Pada kesempatan sebelum-sebelumnya, pernyataan ‘’bumi hangus’’ dikaitkan dengan desa-desa adat dalam radius kesucian pura  seperti Desa Padangbai yang dekat dengan Dang Kahyangan Pura Silayukti di Karangasem. Sementara Ketut Suwandi menyatakan,  Rekomendasi Ketua DPRD Bali untuk tidak melakukan penyempurnaan, menyalahi mekanisme, karena tidak melewati rapat pleno internal DPRD Bali.
            Putu Wirata Dwikora, Ketua Tim Penegak Bhisama yang juga Sekretaris AMB, menyatakan, kesimpulan dan penafsiran Sudana itu tidak tepat. ‘’Kalau dibaca baik-baik bunyi pasal 150 itu, kata kuncinya bukanlah pembongkaran, tapi penyesuaian,  yang diberi tenggang waktu 3 tahun, ada mekanisme ganti rugi, serta peraturan perundangan seperti Peraturan Presiden yang mengaturnya. Penyesuaian justru bisa sedemikian rupa dilakukan, selama fungsi-fungsinya sejalan dengan Perda 16/2009,’’ jelas Putu Wirata, sembari menegaskan, bahwa timnya telah merumuskan konsep untuk menanggapi pernyataan-pernyataan anggota dewan tertentu yang cenderung memancing keresahan di masyarakat.
            Putu menegaskan, Tim Bhisama lebih mendorong agar Pemda prioritas pada penyesuaian, bukan pembongkaran dan ‘’bumi hangus.’’ Bangunan dalam radius kesucian pura  agar diupayakan untuk disesuaikan peruntukannya dalam kerangka Tri Wana  seperti  diatur dalam Perda. Sementara bangunan dalam jarak 100 meter sempadan pantai, sepanjang bisa disesuaikan untuk menunjang rekreasi, pemerintah harus mengupayakannya, agar masyarakat lokal ikut bisa menikmati pertumbuhan ekonomi dalam sempadan pantai, bukannya tergusur seperti selama ini banyak terjadi. Pemerintah wajib menyiapkan sarana dan prasarana untuk mendukungnya.
       
Pansus pun Tak Sesuai Mekanisme
Akan halnya tudingan Suwandi, bahwa Rekomendasi Ketua DPRD Bali, Tjok. Ratmadi tidak sesuai mekanisme, Putu mengingatkan Suwandi, bahwa kalau taat mekanisme, mestinya dari awal sudah taat asas. Ia mengingatkan, Pansus Penyempurnaan Perda RUTRWP Bali pun  tidak sesuai dengan mekanisme, karena dalam pasal 82 PP No. 15/2010, peninjauan kembali terhadap Perda RUTRWP baru bisa dilakukan setelah 5 tahun. Tapi, Pansus RUTRW 2010 dibentuk sebelum Perda sempat dilaksanakan, dan tak sampai setahun umurnya.
             ‘’Apa bukan Pansus RUTRWP itu yang melanggar mekanisme peraturan perundangan yang ada? Tapi, karena mengingat bahwa keadilan jauh lebih tinggi dibanding formalitas dan legalitas-legalitas seperti itu, kawan-kawan tidak terlalu ngotot  mempersoalkan Pansus dalam setahun ini. Tapi, elemen masyarakat lain, kan  ada yang  minta Pansus dibubarkan saja, karena dinilai tidak sesuai mekanisme?” kata Putu Wirata lagi.
            Karenanya, keluarnya Rekomendasi No. 593/242, merupakan solusi dari berlarut-larutnya kerja Pansus, yang sebetulnya bermasalah dari segi mekanisme peraturan perundangan. Putu minta agar PP 15/2010 lebih dicermati, karena mekanisme perubahan mestinya dimulai dari tim yang dibentuk Gubernur, bukan DPRD. DPRD Bali bisa saja menampung aspirasi masyarakat yang menginginkan revisi, untuk disampaikan ke Gubernur dan mendorong Gubernur agar membentuk tim atau panitia, itupun kalau prasyarat lain sudah dipenuhi, seperti tenggang waktu 5 tahun tersebut. SUT-MB