Sanur (Metrobali.com)-

Di berbagai belahan dunia yang kaya akan sumber daya alam, alih fungsi lahan sering kali berujung pada kerusakan ekosistem yang begitu cepat. Salah satu dampak kerusakan ekosistem tersebut adalah munculnya krisis sumber daya air. Air adalah sumber daya yang sangat menentukan dan menyeimbangkan”metabolisme” social dan lingkungan.  Topik, “Air dan Alam Disekitar Kita” menjadi pembahasan yang mendalam dalam di diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) bekerjasama dengan WALHI Bali, Jumat (10/2) di Sanur Denpasar.

Menurut, Hendro Sangkoyo, salah satu pembicara dari School of Democratic Economy mengatakan,” mendesak adanya paradigma baru terhadap pengeloaan sumber daya air diberbagai belahan dunia, termasuk di Bali, “katanya.  Selama ini air selalu dilihat dari ukuran-ukuran angka-angka pertumbuhan ekonomi. Bahkan, kata Hendor Sangkoyo, “sering kali penanggulangan krisis air diatasi dengan factor-faktor penyebab krisis air”. Lebih jauh dikatakan, menurut data Bank Dunia, banyak negara sudah membuang sia-sia jutaan dolar dana lingkungannya, karena banyak kebijakan lingkungan yang kurang terukur dan terkelola dengan baik, yang  pada akhirnya melahirkan kondisi yang saling merusak.

Kebijakan dan pola pembangunan di Bali sepertinya mengalami kondisi yang sama. Banyak pembangunan infrastruktur  yang hanya mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi. Jika dicermati, pola pembangunan sekarang ini, cendrung merusak mata rantai ekologi air dan lingkungan Bali. Sebagai contoh, banyak subak sudah mengalami krisis air. Di beberapa subak di Kabupaten Gianyar, debit air sudah mulai menurun hingga 2/3 dari sebelumnya. Hal ini akhirnya  memunculkan konflik social di tingkat petani. Banyak petani harus begadang menjaga aliran air. Perebutan air di tingkat petani sawah akhirnya menimbulkan budaya saling “curiga” antar petani.

Pembicara lainnya Lohmann dari Corener House, UK.,  membadingkan kondisi system pertanian di Thailand yang serupa dengan system subak di Bali. “Di Thailand juga terjadi krisis air karena adanya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pariwisata. Kecendrungan itu nampaknya terjadi juga di Bali, “tandasnya.

Sementara Made Suarnata dari Yayasan Wisnu, menyoroti banyaknya aturan-aturan negara yang tidak selaras dengan perbaikan lingkungan termasuk manajemen sumber daya air. Hal ini menyebabkan pemerintah sebagai aparatur  negara selalu “terjebak” pada kesalahan-kesalahan yang sama. “Perlu langkah-langkah strategis  dalam menyelaraskan hubungan antara kebijakan negara dengan pengelolaan sumber daya air dan prilaku pasar, “ tegasnya.

Made Nurbawa, Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bali, menyoroti kurang optimalnya Pemerintah Daerah dalam melakukan pemulihan dan perbaikan lingkungan, akibat banyaknya kebijakan negara yang tidak sesuai dengan kebutuhan local dan nilai-nilai budaya tradisional Bali, “ paparnya.  “Pola-pola pembangunan di Bali sering kali tidak merujuk dan menghormati lagi pada “Sastra” yaitu: nilai-nilai kearifan local yang merupakan rangkuman karakter alam Bali, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Air adalah sumber kehidupan. Jadi adanya krisis air pasti akan berdampak dengan krisis hidup dan kehidupan orang Bali. “Harus  ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami kembali tatanan dan nilai-nilai tradisional dalam  perlindungan dan penanggulangan krisis sumber daya alam dan pembangunan di Bali, “sarannya.

Diskusi kali ini diikuti lebih kurang 50 orang yang berasal dari berbagai eleman masyarakat seperti; akademisi, aktivis LSM, petani, pengusaha dan kalangan pemerhati lainnya. (**).