Nyoman Parta

Denpasar (Metrobali.com) –

Politisi PDIP asal Bali Nyoman Parta merilis 12 kelemahan pelaksanaan program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) di Provinsi Bali.

Menurutnya, program BPJS masih memiliki banyak kelemahan di Bali.

“Dari hasil investigasi tim kami, penemuan di lapangan, dan hasil pengaduan masyarakat, kami menyimpulkan ada 12 kelemahan utama dari penyelenggaraan BPJS di Bali. Ini memang benar-benar fakta lapangan, bukan berdasarkan teori di belakang meja. Kami turun langsung, memantau langsung dan akhirnya kami menemukan setidaknya ada 12 kelemahan pelaksanaan BPJS di Bali,” ujar anggota DPRD Bali ini di Denpasar, Sabtu (4/4).

12 kelemahan itu antara lain pertama, kurang sosialisasi tentang hak dan kewajiban peserta BPJS sehingga pelaku di Puskesmas maupun di rumah sakit masih bingung soal apa itu BPJS.

Kedua, tempat pendaftaran yang terbatas, hanya di kantor cabang sehingga terjadi antri begitu panjang. Selain itu masyarakat yang ada di pelosok pun sampai saat ini belum terjangkau BPJS.

Ketiga, fasilitas kesehatan dan SDM yang ada di Provinsi Bali tidak sebanding dengan peserta BPJS yang jumlahnya mencapai 1,7 juta lebih. Itulah sebabnya, banyak pasien BPJS yang terbengkelai dan tidak dilayani secara optimal.

Keempat, penduduk yang belum memiliki KTP tidak bisa dilayani, padahal mereka juga adalah warga negara Indonesia. Kelima, bayi yang lahir dari penerima bantuan iuran (PBI) tidak bisa langsung menjadi PBI sehingga di Bali ditanggung Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang akan berobat secara gratis.

Keenam, sistem rujukan belum optimal sehingga terjadi penumpukan pasien di rumah sakit milik pemerintah tertentu. Ini karena SDM dan fasilitas kesehatan belum memadai sehingga sakit yang bisa ditangani di klinik atau puskesmas malah dirujuk ke rumah sakit tipe A. Maka terjadilah penumpukan pasien disana.

Ketujuh, data PBI seringkali tidak valid karena masih menggunakan data BPS yang lama. Akibatnya, pemerintah kesulitan menetapkan mana PBI yang dicover APBN dan mana yang dicover APBD.

Kedelapan, kebijakan yang dikeluarkan oleh BPJS seringkali berubah dengan begitu cepat dan masyarakat tidak mengetahuinya. Kesembilan, pendaftaran secara online tidak berlaku bagi masyarakat pedesaan sementara kalau warga ingin ke kota atau ke kantor cabang harus antri panjang.

Kesepuluh, pemahaman petugas di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan masih sangat kurang terutama soal ketentuan pelayanan yang ditanggung BPJS. Kesebelas, masih dijumpai ada cost sharing terutama di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, dimana klaim dana BPJS seringkali terlambat.

Keduabelas, dana BPJS lebih besar dimanfaatkan pada persoalan kuratif sementara di pihak lain belum optimal di sisi promotif, preventif dan preventif. SIA-MB