Denpasar (Metrobali.com)-

Kamis, 20 Oktober 2011. Menyikapi peringatan 7 tahun pemerintahan SBY, puluhan mahasiswa dan LSM yang tergabung dalam Forum Peduli Gumi Bali (FPGB) kembali turun ke jalan sembari meneriakkan penolakan pembangunan Bali international Park (BIP). mereka bergerak dari kampus Universitas Udayana menuju perempatan jalan raya Sudirman sambil menyebarkan selebaran dan membentangkan Spanduk bertuliskan “7 tahun kegagalan pemerintahan SBY, Tolak Bali International Park”. Selain itu massa juga menyuguhkan atraksi “body painting” bertuliskan “TOLAK BIP” dan “SBY GAGAL” di tengah cuaca yang sedemikian terik.

I Putu Hery Indrawan, Humas Aksi, mengatakan bahwa tujuan aksi kali ini ialah untuk menegaskan kembali penolakan terhadap BIP yang merupakan proyek prestisius pemerintahan SBY dalam menyambut KTT APEC XXI. Dalam pernyataan berbagai media, SBY dan juru bicaranya menyatakan bahwa tujuan pembangunan BIP ini ialah untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa di hadapan negara-negara peserta KTT APEC. “Pembangunan BIP tak lebih dari politik pencitraan untuk menutupi kegagalan beruntun politik diplomasi pemerintahan SBY di dunia internasional” tegas Hery yang juga menjabat Menteri Kebijakan Publik BEM Universitas Udayana.

Hery lalu menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap TKI yang seringkali diperlakukan tidak manusiawi sampai ancaman hukuman mati di luar negeri. Dalam perjanjian luar negeri seperti WTO, AFTA, ACFTA, pemerintahan SBY juga tidak mampu membendung laju perdagangan pasar bebas yang seringkali merugikan petani, pengrajin, dan pengusaha lokal. “Justru dengan patuh menandatangani perjanjian-perjanjian ekonomi international yang merongrong kedaulatan ekonomi negeri” tegas mahasiswa pertanian semester V Universitas Udayana ini.

BIP yang digunakan sebagai sarana KTT APEC XXI ini didasari oleh Keputusan presiden yang diperjelas oleh SK Menteri Budaya dan Pariwisata (masih dipimpin jero wacik saat itu). Dari segi pertanahan, 174 hektar tanah proyek BIP di daerah Jimbaran, Bali Selatan, telah ditelantarkan pihak investor selama 17 tahun sejak dikuasai haknya tahun 1994. Diatas tanah tersebut, masih bertahan ratusan petani yang mengolah tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 60-an. Mengacu pada UUPA (undang-undang pokok agraria) dan PP 11/2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, seharusnya negara mengambil alih kembali tanah tersebut. Kemudian, didistribusikan kembali untuk reforma agraria. “Sayangnya, pemerintahan SBY dengan semena-mena melanggar PP 11/2010 yang dibuatnya dengan memberikan rekomendasi BIP” ujar Hery.

Dalam pernyataan sikapnya, FPGB juga memandang Rekomendasi SBY dan Menbudpar Jero Wacik sama sekali tidak memperhatikan kebutuhan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata dimana bali telah mengalami “overcapacity”. Hasil penelitian kemenbudpar bersama Universitas Udayana pada Desember 2010 menunjukkan Bali telah mengalami kelebihan kamar mencapai 9.800 kamar. Mengantisipasi hal ini, Gubernur Bali Mangku Pastika mengeluarkan surat edaran moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di Bali Selatan. “Namun karena kuatnya ambisi pemerintahan SBY akan pembangunan BIP, keputusan moratorium pun diinjak-injak atas nama hirarki pemerintahan” tegas Pande Nyoman Taman Bali, Korlap Aksi.

“Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah mengangkat harkat dan martabat bangsa harus dengan mendirikan sebuah bangunan megah dengan menggusur petani dan mengabaikan daya dukung lingkungan?” gugat Pande.

Mengakhiri aksinya, FPGB menyatakan sikapnya yakni menolak dengan tegas pembangunan BIP dan menghimbau pemerintah pusat untuk mencabut rekomendasi yang sudah dikeluarkannya. “Kami juga menuntut agar pemerintahan SBY konsisten dalam menegakkan UUPA dan PP 11/2010 terhadap tanah proyek BIP yang terlantar selama 17 tahun” pungkas Pande.