Denpasar (Metrobali.com) –

Griya Santrian Gallery Sanur menggelar sebuah pameran untuk mengenang maestro Nyoman Gunarsa yang telah berjasa mengharumkan seni rupa Bali dan Indonesia. Demikian diungkapkan Dolar Astawa mewakili pemilik galeri Ida Bagus Gede Sidharta (Gusde) di Griya Santrian Gallery, Sanur, Jum’at (24/2/2023).

Koordinator Staf Khusus Presiden RI A.A.G.N. Ari Dwipayana didaulat untuk membuka secara resmi Pameran yang menyajikan sekitar 30 karya itu berlangsung hingga 31 Maret 2023.

Pameran lukisan ini juga merupakan persembahan dan penghormatan bagi jejak kekaryaan seniman besar Nyoman Gunarsa.

“Beliau tumbuh di lingkungan yang berakar budaya Bali dan melanglang buana hingga mencapai puncak ketenaran hingga menjadi salah satu maestro lukis yang kita miliki,” kata Gusde.

Sejak awal, gaya lukisan Nyoman Gunarsa cenderung ekspresionis kemudian berkembang dari tema keseharian masyarakat Bali tradisional, abstraksi sesaji, deformasi aringgit (wayang), dan gerak penari. Nyoman Gunarsa meramu gaya tersebut dengan imajinasi yang diasah dari konsistensinya mendalami kesenian Bali sehingga melahirkan karya dengan ‘gaya Gunarsa’ yang sangat terkenal tu.

Lima tahun silam Nyoman Gunarsa (lahir 1944) meninggal dunia, tepatnya pada Minggu, 10 September 2017. Ia bukan hanya meninggalkan karya berupa sketsa, drawing, maupun lukisan yang dapat mengisahkan ribuan jejak berkeseniannya, tetapi juga sebuah museum seni dengan ribuan koleksi yang sangat kaya khazanah seni budaya adiluhung.

Sepanjang karier sebagai perupa, Nyoman Gunarsa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelestarian dan pengembangan seni serta memfasilitasi berbagai kegiatan budaya.

Indrawati, istri Nyoman Gunarsa, mengatakan suaminya itu merupakan pribadi yang sangat dicintai banyak orang dan menjadi guru bagi semua kalangan.

“Pak Nyoman juga memiliki banyak gagasan cemerlang dan mendedikasikan dirinya untuk kemajuan kebudayaan secara luas. Hingga kini kami sangat kehilangan sosok seperti beliau,” ungkap Indrawati.

Pada 1970 Nyoman Gunarsa mendirikan Sanggar Dewata Indonesia, sebuah komunitas seni yang berpusat di Yogyakarta, kota tempat dia belajar dan mengajar sebagai dosen ASRI (kini ISI Yogyakarta). Komunitas ini masih bertahan hingga kini yang sebagian anggotanya sangat dikenal di ranah seni rupa Indonesia.

Nyoman Gunarsa tercatat pernah pameran di berbagai negara, seperti Malaysia, Australia, Belanda, Jepang, Singapura, Prancis, dan sempat memiliki galeri di Amerika Serikat. Sejumlah karyanya antara lain terangkum dalam buku “Color of Nyoman Gunarsa” (1993), “Nyoman Gunarsa” (1995), dan “Nyoman Gunarsa Moksa” (2004).

Sejumlah karya Nyoman Gunarsa terpilih menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia sekaligus koleksi negara antara lain “Calon Arang” (1968), “Balinese Offerings” (1981), “Open Ceremony I” (1977), “Open Ceremony II” (1977), “Open Ceremony III” (1978), “Open Ceremony IV” (1973), dan “Wayang (Mandalangi)”.

Dia meraih Penghargaan Seni Pratisara Affandi Adi Karya (1976), Penghargaan Biennale III Jakarta (1978), Biennale IV Jakarta (1980), dan Lempad Prize (1980). Ia juga memperoleh Penghargaan Seni Dharma Kusuma (1994) dan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden Indonesia (2003).

Ia membangun Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa pada 1990 dan diresmikan Mendikbud Wardiman Djojonegoro pada 1994. Museum ini memiliki ribuan koleksi berupa lukisan klasik Bali dan seni rupa modern, patung, keris, dan berbagai barang seni yang tak ternilai harganya.

Nyoman Gunarsa pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Museum Bali (Himusba) dua periode (2000-2011) dan membeirkan sumbangsih yang sangat besar bagi permuseuman antara lain menerbitkan dokumentasi tentang museum di Bali dalam sebuah buku “The Treasure of Bali” dan publikasi jurnal permuseuman “Musea”.

Selain itu, ia juga mencurahkan pikiran bagi revitalisasi museum agar menjadi laboratorium kebudayaan dan sumber pengetahuan tentang peradaban bangsa dari masa ke masa. (hd)