Oleh : I Gde Sudibya

Berdasarkan data per 19 Maret 2021 jumlah kasus terkonfirmasi: 1.453.132, dengan jumlah kematian: 39.339 orang. Angka kasus harian terkonfirmasi dalam beberapa hari terakhir pada pusaran 6000 kasus, ada kecendrungan menurun dari waktu sebelumnya. Tetapi angka kasus terkonfirmasi tetap tinggi, belum ada tanda-tanda kasusnya menurun secara konsisten dan kemudian melandai, yang memberikan indikasi secara statistik kasus pandemi akan segera berakhir.

Berdasarkan data ini, dari perspektif kebijakan, kombinasi kebijakan 3 T ( Testing, Telusuri dan Terapi ) dalam skala lebih luas dan pelaporan lebih cepat, berbarengan ekfektivitas 3 M ( pakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak ), tetap sangat penting, dan tidak tergantikan oleh kebijakan penyediaan vaksin dan proses vaksinasi.

Vaksin dan vaksinasi, beberapa catatan kritis

Vaksin dan vaksinasi bukanlah panasea: ” obat ” penyelesai masalah dari keseluruhan persoalan kesehatan yang dibawakan oleh pandemi. Vaksinasi adalah tindakan preventif untuk  menekan proses penyebaran wabah lebih jauh, untuk menekan korban. Proses ini, dari perspektif kebijakan sudah tentu menjadi pelik, karena data possivity rate tinggi ( pernah mencapai 30 persen ), cakupan test yang terbatas, demikian juga cakupan penelusurannya.

Tampak terjadi euforia dalam vaksinasi dan harapan berlebih terhadap proses ini,  sehingga ada risiko pada sebagian masyarakat mengalami pengendoran dalam pelaksanaan 3 M, padahal faktanya angka kasus tetap tinggi, berarti risiko penularan juga tetap tinggi. Di sini kita belum memasukkan variabel pandemi gelombang kedua yang sudah dialami: Inggris, Perancis dan juga Italia. Diberitakan, Italia melakukan kebijakan Lock Down, penguncian wilayah seluas 2/3 Italia.

Harus dihindarkan kesan, munculnya persepsi publik terhadap politisasi dari vaksin dan vaksinasi, karena menurut para pakar, politisasi dalam penanganan pandemi, bisa membuat kebijakan penanggulangan menjadi kurang efektif, dan bahkan bisa menjadi pemicu penyebaran virus akan semakin meluas.

Dalam penanganan pandemi Covid-19, kita semestinya belajar dari penanganan pandemi Flu Spanyol oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1917 – 1918. Menurut penelitian, jumlah korban meninggal sekitar 4 juta orang, terbesar terjadi  di tahun kedua  ( tahun terakhir ) pandemi,  ketika masyarakat tidak lagi waspada terhadap risiko pandemi, jenuh dengan protokol kesehatan, desakan tekanan ekonomi. Tanda-tanda ini juga tampak dewasa ini, yang perlu diwaspadai untuk menghindarkan terjadi banyak korban di masa akhir pandemi.

Kematian, sudah tentu bukan semata-mata angka statistik, meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan dan lingkungan dekatnya. Sebuah kematian di masa pandemi, menurut seorang wartawan senior yang juga filosof, sebuah kematian tragis  tanpa penghormatan terakhir dari orang-orang terdekat yang menyayangi, padahal penghormatan ini begitu mulya, tidak saja bagi yang telah tiada, tetapi juga yang ditinggalkan di dunia maya ini. Pandemi telah melahirkan gegar peradaban.

Penulis, tinggal di Denpasar, Bali