Oleh: I Gde Sudibya
Presiden Joko Widodo telah melontarkan gagasan untuk ” berdamai ” dengan Corona. Rasanya makna ” berdamai ” dalam rangkaian kalimat dan juga keseluruhan pesan yang ingin disampaikan oleh beliau adalah ajakan kepada masyarakat untuk melakukan adaptasi prilaku dalam melawan Corona, dari perspektif kebijakan dan kedisiplinan warga untuk mengikuti protokol kesehatan.
—————————————————————————-
Perspektif kebijakan yang dimaksud barangkali mengirimkan signal bahwa ” peperangan “melawan virus ini adalah ” perang ” jangka panjang, yang rasanya sangat sulit untuk dimenangkan dalam jangka pendek, karena sejumlah alasan. Keterbatasan sumber daya, besarnya risiko ekonomi yang ditanggung sebagai akibat dari kelesuan parah ekonomi yang berkepanjangan serta lamanya rentang waktu penemuan vaksin pemusnahnya dan tingkat efektivitasnya menjadikan alasan kenapa perlu berdamai dengan virus corona.

Para Netizen, mari kita coba telusuri alasan penalaran ( reasoning ) dari pendapat di atas, dari sejumlah  sumber yang penulis nilai cukup kredibel. Pertama, WHO memperkirakan bahwa vaksin anti virus diperkirakan baru akan ditemukan akhir tahun 2021.
Kedua, Lembaga Ejikman yang melakukan penelusuran ( sequencing ) terhadap virus strain Indonesia, berpendapat: virus ini berbeda dengan virus yang sedang diuji coba di banyak negara, yang kalaupun vaksinnya ditemukan belum tentu efektif membasmi virus yang menyebar di sini.
Ketiga, Dr. David Nabarro akhli virus dari Global Health di Imperial College London, konon menjadi  special envoy WHO untuk Covid-19, bahkan memperkirakan ada kemungkinan besar tidak akan ada vaksin yang efektif untuk Corona. Dengan demikian, sama dengan tidak ada /belum ada vaksin untuk HIV/AIDS dan Dengue.
” Peperangan ” jangka panjang yang memerlukan sumber daya besar dan daya tahan mental bangsa yang kuat, rasanya tidak mungkin akan dimenangkan, apabila ekonomi macet dan nyaris mati suri sampai dengan akhir tahun 2021 ( waktu perkiraan vaksin ditemukan versi WHO ). Sementara, para akhli ekonomi politik memperkirakan: jika stagnasi ekonomi berlangsung selama 19 bulan ( Juni 2020 – Desember 2021 ) ada potensi terjadinya ledakan sosial  di masyarakat.

Untuk menghindari risiko tinggi di atas, strategi ” perang ” semestinya diubah menjadi: menciptakan “kemenangan ” kecil dalam ” pertempuran” jangka pendek, untuk memenangkan ” perang  ” dalam jangka panjang.
Dalam alur pemikiran di atas, wacana yang sudah dimulai Presiden tentang wacana ” berdamai ” dengan Corona sangat pantas didukung dan ditindaklanjuti oleh seluruh komponen masyarakat, terutama elite pengambil kebijakan publik.
Dalam konteks ini, wacana yang kemudian diikuti oleh kebijakan tentang sebuah era kenormalan baru ( new normal era ) pantas untuk direspons. Contohnya,  Kajian The New Normal ala BUMN., berdasarkan SE.Menteri Negara BUMN.No.S – 336/MBU/05/2020, 15 Mei 2020 yang diberitakan liputan6.dotcom, yang menjadwalkan: Fase 3, 8 Juni, tempat-tempat wisata dibuka dengan protokol kesehatan.
Tantangan untuk Bali
Jika merujuk ke kajian BUMN di atas, 8 Juni tempat wisata dibuka dengan protokol kesehatan, tantangan untuk Bali, khususnya para pengambil kebijakan dan kemudian para pelaku industri pariwisata, menyebut beberapa diantaranya: Pertama, Tourist resort yang ada, menyebut beberapa diantaranya: Kuta, Legian, Seminyak, Tanah Lot, Pemuteran, Lovina, kawasan pantai Kecamatan Kubutambahan dan kemudian Kecamatan Tejakula, Tulamben, Segara Ujung, Candi Dasa, Kintamani, Penelokan, Ubud, Sanur, Tanjung Benoa dan kemudian Nusa Dua, relatif aman dari potensi dan transmisi pandemi. Oleh karen itu, Test rdt dan pcl/swab dengan uji petik yang kredibel sangat diperlukan. Jika kawasan-kawasan yang dimaksud aman dari hasil test dan kajian epidemiologi, kawasan ydm.segera dibuka kembali untuk para turis.
Kedua, di era ” new normal ” ini, sangat diperlukan inovasi dari kalangan industri pariwisata pada keseluruhan proses layanan berbasis protokol kesehatan: penjemputan di bandara, design lobi hotel/vila/bungalow, redesign tempat duduk restoran dan seluruh events pariwisata. Dalam perjalanan panjang 50 tahun pariwisata Bali, kalangan industri pariwisata mampu dan cerdas melakukan inovasi.
Ketiga, industri keuangan dan perbankan memberikan dukungan penuh di era ” new normal” ini, sejalan dengan kebijakan Perpu no.1 tentang: Penyelamatan Keuangan Negara dalam Menanggulangi Covid-19, termasuk penyediaan dana talangan sekitar Rp.225 trilliun untuk penyelamatan usaha. Kebijakan ini, sejalan dengan era ” new normal” bagi kalangan industri pariwisata. Di dasari kesadaran bersama: indutri ini telah terbukti menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi ( engine of growth ) perekonomian Bali,  dan memberikan dampak pengganda ( multiplier effect ) besar dalam penciptaan: pendapatan dan kesempatan kerja krama Bali.
Keempat, para pengambil kebijakan di Bali, punya keberanian untuk melangkah model “Satria Wirang” ( pemimpin yang berani memutuskan dan mengambil risiko dari keputusan yang diambil untuk membela dan melindungi kepentingan rakyat).  Bukan model kepemimpinan gabeng ( penuh keraguan dan ketakutan untuk memutuskan dan melangkah), dengan risiko besar yang menyertainya.
Kelima,  bertumbuhnya kesadaran pada krama Bali: waktu sekarang ini adalah waktu duka ( cobaan, penderitaan dan ketidakpastian ), yang harus dilawan melalui laku: mulat sarira dan kemudin jagra, yang kemudian “membumi” melalui: disipilin ( dari dalam diri ) mengikuti protokol kesehatan, jengah untuk  bangkit  berbasis ethos kerja yang sudah melegenda guna memenangkan ” pertempuran ” dan kemudian ” peperangan” melawan Covid-19.
Keenam, kearifan manajeman waktu holistik kehidupan krama Bali: Tri Semaya: pengalaman dan hikmah masa lalu ( Atitha ),  untuk menciptakan visi masa depan (Nagatha ), melalui langkah dan tindakan nyata hari-hari ini ( Warthamana ). Yang telah diteladankan oleh Pemimpin Bali masa lalu: Ida Rsi Markandya, Ida Cri Aji Jaya Pangus, Ida Dalem Waturenggong, ” yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan “- dalam bahasa kekinian : – limitless leadership -.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, konsultan strategi manajeman, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ), Denpasar.