tarian tirta amerta...

Denpasar (Metrobali.com)-

Taman Budaya telah menciptakan tarian khasnya. Namun untuk menghasilkan ciptaan tari yang diberi nama Tirta Amerta Sanjiwani ini siap dilounching,  maka diundang para pakar untuk memberikan masukan, maupun kritikan, untuk bisa meramu tarian khas Taman Budaya ini menjadi benar benar bagus, yang direncanakan akan dipentaskan pada akhir Oktober 2014 ini.

Para pakar peneliti yang diundang seperti Prof  Wayan Dibya, sebelumnya memberikan sekilas ulasan tentang tarian khas (mascot) yang kini sedang menjadi trend. “ Bahwa belakangan ini banyak muncul tarian maskot yang menjadi trend tersendiri mewarnai penciptaan karya seni tari di Bali. Seperti pada masing – masing kota/ kabupaten di Bali memiliki era tari maskot. Sebut saja Tari Sekar Jempiring milik Kota Denpasar, Tari Sekar Jepun milik Kabupaten Badung, Tari Bali Mandara, Tari Sekar Sandat dan tari maskot kota kabupaten lainnya. Dengan demikian nyaris jarang kemudian muncul tari penyambutan lainnya sebut saja Tari Pendet, Tari Gabor dan lainnya yang sebelumnya selalu tampil,” urainya.  

Ditambahkan, maka kecenderungan tari – tari tersebut semakin ‘terpinggirkan’ lantaran secara politik tak mungkin lagi dimasukan disetiap agenda seremonial terutama yang digelar oleh instansi pemerintahan karena sudah ada tari maskot yang menjadi kebanggaan daerahnya.” Denpasar dengan Tari Sekar Jempiring, tak mungkin menampilkan Tari Gabor, begitu juga Tari Sekar Jepun tak mungkin menampilkan tari pendet dan beberapa tari yang diciptakan para maestro tari diantaranya ada Pak Wayan Berata, garapan tari tersebut sudah tak punya ruang secara politik untuk dimasukan pada agenda resmi lantaran ada tarian maskot, ” ungkap Prof. I Wayan Dibia.

 Prof. Dibia menyambut baik pengembangan tari yang saat ini muncul di beberapa daerah dengan tari maskot, ada satu kebanggaan. Yang menjadi pertanyaan sebaiknya keberadaan tari – tarian klasik yang notabene dibuat para maestro agar tetap mendapat ruang untuk ditampilkan. “ Saya berharap Taman Budaya sebagai pusat kegiatan seni mengedepankan ruang untuk menampilkan karya-karya monumental ini,” himbaunya.  

Prof. Dibia memberikan beberapa catatan dalam menggarap karya seni tari supaya tidak latah atau struktur tariannya hanya ikut –ikutan dengan tarian yang sudah ada. Semisal tari Sekar Jagad, ada tarian maskot yang gerakanya menyerupai tari sekar jagad. Begitupun, iringan musiknya agak mirip – mirip. 

Sedang dalam memberikan tanggapan tentang tarian mascot Taman Budaya itu, dikatakan, di samping identitas tarian maskot Taman Budaya yang menurutnya belum sepenuhnya seperti apa yang digambarkan dalam judulnya, ‘Tirta Amerta Sanjiwani.  Disisi itu durasi tarian ini juga masih terlalu kepanjangan. “ Pencipta tari harus mempertimbangkan lagi durasi tarian yang ideal adalah 8 menit sudah cukup,” imbuhnya.

Oleh I Ketut  Rena, S.St yang dipercaya menggarap tari  ikon Taman Budaya tersebut, mengatakan bahwa program membuat tarian ini akan menjadi identitas di masing –masing Taman Budaya di Indonesia. Tujuan membedah karya tarinya adalah untuk mendapatkan masukan, apa saja kelemahan, kelebihan maupun kekurangan sehingga tarian ini menjadi sempurna. “ Tarian ini menggambarkan tentang kesucian tirta amerta Sanjiwani sebagai lambang sumber kehidupan kekal abadi yang dibawakan oleh para dewa dan dewi Danuantari yang begitu anggun, agung mempesona sehingga setiap makhluk ingin mendapatkan tirta tersebut,” ungkapnya.

Saat membedah tarian ini para pakar yang hadir adalah  Prof Dr Wayan Dibya, SSt MA, Prof Nyoman Suarka, Mhum, Dr Made Wiratini, Nyoman Winda SSKar MA, dan Desak Suarti Laksmi, SSkar MA. Prof. Nyoman Suarka salah seorang dosen budaya secara filosofi tarian ikon Taman Budaya ini sudah masuk . Akan tetapi tarian ini belum menggambarkan identitas Taman Budaya. “ Saya kira secara filosofi tarian menceritakan Tirta Amerta sudah masuk, cuma perlu diperhatikan tarian ini sebagai tari identitas belum muncul, “ terangnya.        

Sedangkan Nyoman Winda tokoh karawitan Bali menilai iringan tari ikon Amerta Sanjiwani ini masih perlu dipermak lagi. “ Iringan cenderung terlalu cepat, sehingga belum mencerminkan keagungan tariannya yang sedikit lebih lembut, lemah gemulai, magisnya ada, sedangkan  temponya cukup tinggi, garapan  musik belum nyampai, begitupun  dinamikanya semua belum stabil, semua keras, sesuatu yang keras belum tentu enak didengar, “ ucap Winda sang composer memberi penilaian. Untuk diketahui tarian maskor Taman Budaya Bali ini rencananya akan diluncurkan akhir Oktober ini. HP-MB