Sony Tulung Gagas Morning Coffee at the Museum'
Gianyar (Metrobali.com)-

Presenter Sony Tulung memiliki kepedulian tinggi terhadap museum di Indonesia. Sony Tulung yang mendirikan Sekolah Public Speaking Team Communication di Bali mengaku tergerak untuk membuat museum tak hanya sekedar ‘barang mati’ masa lalu.

Menurutnya, museum harus dibuat semenarik mungkin agar menarik minat orang untuk mengunjungi museum. Ia menyebutnya museum harus dikemas secara entertainment. Bersama Himpunan Museum Bali (Himusba), Sony menjalin kerja sama melalui program ‘Morning Coffe at the Museum’. “Ini adalah terobosan agar museum tidak identik dengan masa lalu, tetapi menjadi inspirasi bagi sumber kehidupan masa kini,” kata Sony di Rumah Wayang dan Topeng Setia Dharma, Ubud, Gianyar, Bali, Sabtu 30 Agustus 2014.
 
Program ini, ia melanjutkan, berupaya mengemas museum sebagai sarana pendidikan yang menyenangkan bagi pengunjungnya. Jika sudah demikian, maka pengunjung akan merasa nyaman dan terhibur oleh banyaknya kegiatan.

Sony bukan tanpa alasan bekerja keras menggairahkan museum. Gagasan yang dilahirkannya berawal dari keprihatinannya lantaran museum makin jarang dikunjungi, khususnya oleh anak-anak muda. “Mereka lebih suka ke mall. Bangunan-bangunan tua pun akhirnya dirubuhkan untuk pembangunan mall,” katanya. Ujung-ujungnya,sambung Sony, anak-anak muda tidak lagi memiliki kebanggaan terhadap sejarah bangsanya.

Pulau Bali menurutnya memiliki potensi cukup baik dalam hal permuseuman. Jumlah museum di Pulau Dewata mencapai 33 museum dengan kekayaannya masing-masing.

Sementara itu, Ketua Himusba Bali, Anak Agung Rai menyebutkan jika perkembangan museum di Bali saat ini menunjukkan kemajuan luar biasa. Apalagi saat ini mendirikan museum jauh lebih mudah. “Tahun 90-an mendirikan museum sangat sulit,” kata pemilik ARMA Museum, Ubud ini. Menurutnya, tantangan mendirikan museum adalah bagaimana membuat ia menjadi eksis. Tentu saja museum harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman.
 
“Museum harus menjadi living culture  yang melibatkan masyarakat sekitarnya,” saran dia. Itu sebabnya ARMA  yang berdiri di atas lahan seluas 6 hektar, dikombinasikan dengan pertanian, seni pertunjukan tari dan kehidupan keseharian orang Bali. JAK-MB