Pembukaan Bali Mandara Mahalango

SEBUAH peristiwa dari fenomena kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali memang sudah seharusnya terus menerus dapat dikritisi secara holistik dan komprehensif. Dalam upaya menciptakan denyut nadi kehidupan kreativitas berkesenian yang kreatif dan inovatif serta mampu memberikan nilai edukasi publik sesuai tuntutan peradaban global dengan kemajuan teknologi serba canggihnya secara berkelanjutan.

Mengingat kebudayaan berbasis kearifan lokal khas Bali sebagai jati diri untuk menjaga entitas sosial dari nilai solidaritas, toleransi dan gotong royong demi  mencapai kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Apalagi, persoalan sosial ekonomi masyarakat kekinian  kecenderungan berorientasi terhadap kepuasan konsumtif yang sangat hedonis dan materialistik.

Maka itulah, kehadiran pemerintah dengan program birokrasi sebagai aspek layanan publik kini dituntut mampu mendobrak upaya pemenuhan kebutuhan dasar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Supaya mampu menjadi penanda yang kuat saat menghadapi tantangan dari tuntutan peradaban zaman kekinian menuju perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).

Salah satu cerminan upaya pemerintah memastikan kehadiran negara dalam berbagai aspek layanan publik tersebut, di antaranya pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango (BMM), yang telah dicanangkan sejak tahun 2014 lalu oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika.

Program kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali ini dimaksudkan untuk memuliakan seniman dan pelaku seni budaya sekaligus menghibur masyarakat serta meningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa, terutama seni budaya khas Bali.

Dalam konteks ini, muncul anggapan bahwa jajaran birokrasi pemerintahan secara perlahan terkesan telah melakukan proses evolusi kinerja dari bermental penguasa menjadi mau melayani. Meskipun disinyalir hanya sebatas pencitraan publik dalam melanggengkan relasi kuasa dari politik kekuasaan kepemimpinan pemerintahan.

Fakta ini tentunya cukup diapresiasi secara positif oleh kalangan seniman dan pelaku seni, termasuk masyarakat luas terutama pencinta seni budaya sebagai angin segar ataupun peluang emas dalam upaya meningkatkan daya saing hidupnya untuk mencapai kesejahteraan yang lebih bermartabat dan berbudaya secara berkelanjutan.

Kebijakan populis yang mendongkrak apresiasi publik ini dianggap menjadi pembeda bagi pemerintahan, yakni Bali Mandara periode kedua, dengan kepemimpinan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika bersama Wakilnya I Ketut Sudikerta.

Kini, memasuki tahun kedua pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango telah berlangsung mulai 12 Juli dan akan berakhir 28 Agustus 2015 mendatang. Tak kurang dari 56 sekaa, sanggar/yayasan seni budaya seluruh kabupaten/kota di Bali turut berpartisipasi aktif dengan menyajikan garapan terbaiknya, dalam ragam seni pertunjukan, seperti kerakyatan, klasik tradisional, kreasi baru, kontemporer dan eksperimental, serta kolosal.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Bali, Drs. Dewa Putu Beratha M.Si menegaskan bahwa BMM merupakan ajang festival seni budaya untuk memupuk kecintaan masyarakat terhadap budaya Bali yang adiluhung sekaligus memberi ruang berkesenian bagi kelompok dan kemunitas seni baik tradisional dan modern. Sehingga, dapat diapresiasi oleh masyarakat pengunjung dengan mengoptimalkan fungsi UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar sebagai pusat kesenian dan budaya Bali.

Di samping pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) setiap tahun, BMM juga dimaknai sebagai dinamika seni budaya menuju kesejahteraan, kemajuan dan keagungan peradaban Bali, serta mampu menumbuhkan sikap profesionalisme seniman dan pelaku seni untuk menciptakan industri kreatif inovatif berbasis seni budaya menuju Bali yang maju, aman, damai, dan sejahtera.

Minim Apresiasi dan Inovasi

Berdasarkan pengamatan langsung sekaligus penilaian para pemerhati sosial budaya dan budayawan serta sejumlah wartawan (jurnalis) selama 20 hari pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango II tahun 2015 memang telah berlangsung dengan baik dan lancar.

Beragam catatan dari kajian kritis yang tersebar melalui media baik cetak dan elektronik maupun sosial media tentunya sudah sepatutnya diapresiasi secara bijak dan komprehensif guna pembenahan dalam pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango selanjutnya.

Persoalan teknis terkait kelengkapan panggung seperti sound system (tata suara) dan lighting (tata cahaya) belum sepenuhnya mendapatkan sentuhan perbaikan yang akurat, cepat, dan tepat waktu. Ironisnya, tim manajemen stage/panggung malahan terkesan bersikap cuek ataupun sengaja melakukan tindakan pembiaran. Sehingga, kesan kreatif dan inovatif belum muncul secara layak sesuai harapan publik.

Bahkan, sajian pertunjukan seni budaya dari partisipasi duta seni setiap kabupaten/kota di Bali terkesan sebagian besar tampil seadanya ataupun sekadarnya saja, hanya untuk memenuhi tuntutan nilai setoran tunai yang telah diterima dimuka atau sebelum pentas/tampil di atas panggung. Memang ada beberapa pertunjukan seni budaya telah mengalami proses inovasi tapi sifatnya sangat terbatas.

Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja tim kurator mulai dipertanyakan dan patut lebih ditingkatkan, serta semangat seniman dan pelaku seni dalam mengapresiasi pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango tahun ini pun terkesan belum sepenuhnya mampu menunjukan karya kreatif inovatif terbaiknya sesuai harapan publik.

Padahal, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika sempat mengingatkan bahwa proses berkesenian memang sudah seharusnya mengadaptasi perkembangan dan kemajuan peradaban global dengan teknologi serba canggihnya. Sehingga, upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali mampu memberikan kesejahteraan berkelanjutan terutama bagi para pelakunya, seniman tentunya.

Diakuinya memang pada masa lalu pertunjukan seni budaya tidak membutuhkan panggung dan tata cahaya (lighting) ataupun tata suara (sound system). Tapi, sesuai konteks kekinian panggung dengan segala perlengkapannya memang sudah menjadi sebuah keharusan ataupun kebutuhan untuk memberikan sentuhan berbeda, termasuk pertunjukan seni budaya pun dituntut harus memberikan kesan kebaruan, sehingga mampu menghibur sekaligus memberikan nilai edukasi positif bagi pencetakan karakter bangsa di masa depan.

Melalui pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango ini semestinya seniman ataupun pelaku seni dapat meningkatkan kualitas kreatifnya dalam menciptakan karya seni terbaiknya. Ini tentunya, sebagai upaya menegaskan perbedaan dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB), yang kini telah berlangsung selama 37 tahun.

Menyikapi dinamika tersebut, sebagai kajian kritis tentunya tahun depan perlu adanya pembentuk tim manajemen stage/panggung yang lebih profesional dan andal, dengan melibatkan relawan dari kalangan mahasiswa ataupun para pakar/ahli di bidangnya. Sehingga, persoalan seperti pengaturan tata cahaya (lighting), tata suara (sound system) tidak terulang lagi, termasuk penataan perlengkapan dan dekorasi panggung, agar sesuai kebutuhan dari pertunjukan seni budaya yang disajikan/dipentaskan.

Di samping itu, proses seleksi penentuan duta seni budaya setiap kabupaten/kota di Bali patut diperhatikan dengan lebih serius dan harus mendapatkan sentuhan kurasi secara holistik dan komprehensif. Sehingga, mampu memberikan jaminan ataupun garansi sebuah penampilan berkualitas terbaik terkait visi misi BMM, dan sesuai harapan publik.

Sementara itu, minimnya apresiasi publik terhadap pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango karena dianggap bukan saat masa liburan dan bahkan terkesan dianggap terlalu dipaksakan hanya demi memenuhi program birokrasi pemerintah untuk pencitraan publik semata.

Tak ayal, pelaksanaan peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango bagaikan buah simalakama. Di satu sisi sangat dinantikan oleh seniman ataupun pelaku seni, sedangkan di sisi lain kurang direspon publik, para pencinta seni budaya. Sehingga, perlu adanya evaluasi tersendiri terkait jadwal pelaksanaannya di tahun depan.

Lebih jauh, untuk mengoptimalkan fungsi UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar sebagai laboratorium kebudayaan bangsa sudah semestinya setiap panggung atau kalangan/stage yang ada saat ini perlu mendapatkan sentuhan teknologi dan perbaikan dengan adaptasi arsitektur modern kekinian dan termasuk perlengkapan untuk sebuah pemanggungan pertunjukan seni berstandar internasional.

Dalam upaya mewujudkan ide dan pemikiran kritis tersebut sesuai tuntutan peradaban global marilah kita tunggu gebrakan terbaru dari Gubernur Bali, Made Mangku Pastika dan wakilnya I Ketut Sudikerta dalam membenahi layanan fasilitas publik di UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar menjelang detik-detik terakhir kepemimpinannya dalam beberapa tahun mendatang. WB-MB