Denpasar (Metrobali.com)-

Gugatan Gubernur Bali terhadap Bali Post, Kamis (31/5) kemarin masih tahap mendengarkan saksi. Pihak Gubernur selaku penggugat menghadirkan dua saksi ahli, yakni Prof Dr Samsul Wahidin SH MH selaku ahli hukum tata negara dan hukum administrasi, serta Prof Dr Aloysius R Entah SH MH selaku guru besar hukum perdata.
Samsul Wahidin yang mendapat kesempatan pertama, dihadapan majelis hakim yang diketuai Amser Simanjuntak SH, memaparkan dalam penulisan berita, isi harusnya mencerminkan judul dan sebaliknya. “Kalau tidak selaras itu artinya berita tidak tepat, tidak akurat, dan melanggar ketentuan pasal 6 UU No 40 tahun 2009 tentang Pers. Demikian pula jika wartawan tidak hadir dan menulis berita adalah melanggar pasal 6 huruf c UU No 40 tahun 2009,” tegas Samsul.
Lebih lanjut, Samsul menerangkan jalur yang bisa ditempuh pihak yang dirugikan atas suatu pemberitaan, tentu penyelesaian melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena UU No 40 tahun 2009 tidak lengkap sehingga bukan lex spesialis. “Dalam UU No 40 tahun 2009 juga disebutkan penyelesaian melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bisa perdata maupun pidana,” tandasnya.
Pun dijelaskan Samsul bahwa hak jawab dalam pemberitaan pers itu esensinya sebuah etika profesi. “Tidak harus hak jawab dahulu. Pihak yang merasa dirugikan dapat langsung melakukan upaya hukum lainnya, karena hak jawab tidak menghilangkan unsur pidana maupun perdata karena itu sebuah etika,” terang Samsul menjawab pertanyaan majelis hakim.
Selanjutnya, saksi ahli menerangkan jika hak jawab itu bukan administratif atau perihal hak jawab, tetapi bersifat substantif yakni informasinya yang dibantah. “Kalau tidak mengakomodir hak jawab berarti langgar UU No 40 tahun 2009 tentang Pers yang berarti melanggar hukum. Dalam hal ini, secara administratif perusahaan pers harus bertanggung jawab, karena ada peralihan tanggung jawab dari pembuat berita kepada perusahaan pers,” terangnya.
Menjawab pertanyaan tim kuasa hukum Gubernur Bali, yakni Nyoman Sumantha SH dkk, saksi Samsul mengatakan perihal hak jawab berupa somasi yang dimuat Bali Post pada 24 September 2011 tersebut bukan hak jawab karena bukan berita head line (HL) sebagaimana berita sebelumnya yang dipermasalahkan. “Itu justru pemlintiran berita. Karena permintaan maaf tidak membaca berita itu sangat berbeda dengan permintaan maaf membuat pernyataan,” tandasnya.
Secara terpisah, saksi ahli Aloysius R Entah menerangkan perihal keperdataan. Ia sebutkan bahwa pemberitaan yang tidak tepat itu bisa disebut perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, dikatakan ahli jika gugatan perdata tidak ada tuntutan ganti kerugian, apa perlunya. “Besar kecilnya ganti rugi tidak diatur tapi mengacu pada pedoman umum, yakni kerugian langsung, tidak langsung, materiil dan immateriil,” terangnya.
Seusai mendengarkan keterangan dua saksi ahli yang diajukan penggugat, ketua majelis hakim Amser menyatakan sidang dilanjutkan Kamis (7/6) mendatang dengan agenda mendengarkan saksi-saksi fakta yang dihadirkan pihak tergugat.
Seusai persidangan, tim kuasa hukum Bali Post yang dikoordinir Suryatin Lijaya SH, mengatakan saksi Samsul menerangakan bahwa ketidaksesuaian isi dan judul berita adalah sebuah pelanggaran etika, sehingga pihaknya akan menekankan bahwa tergugat melanggar etika yang harus diselesaikan secara etika pula. “Untuk saksi ahli kedua (Aloysius,-red) ternyata tidak bisa menjawab pertanyaan. Banyak hal yang tidak diketahui,” sebut Suryatin.
Sebelumnya, saksi ahli pers Prof Dr Drs Cipta Lesmana, menegaskan jika pemberitaan Bali Post pada 19 September 2011 sebagai hal yang fatal dan merupakan pelanggaran berat. “Apalagi judul dan isi berita tidak ada kaitannya. Apalagi jika dalam persidangan sebelumnya, para saksi yang telah disumpah mengatakan wartawan Bali Post tidak ada di tempat. Ini berarti pelanggaran berat dalam jurnalistik,” tegas Cipta Lesmana.
Menyangkut hak jawab, Prof Cipta mengatakan mekanisme hak jawab hanya salah satu cara namun setelah itu ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh masyarakat. “Langkah Gubernur sampai ke perdata itu sudah tepat. Apalagi, Dewan Pers pada 26 Juni 2006 pernah menyampaikan jika terjadi permasalahan pers hendaknya dilaporkan ke dewan pers, namun jika tidak puas boleh menempuh jalur hukum yang tersedia,” terangnya.
Ketika ditanya kuasa hukum Bali Post, Suryatin Lijaya SH, perihal hak jawab berupa somasi yang dimuat Bali Post pada 24 September 2011, Prof Cipta mengatakan Bali Post sudah melayani hak jawab. “Ya, Bali Post sudah melayani sebagian hak jawab,” tandasnya dihadapan majelis hakim yang diketuai Amser Simanjutak SH didampingi dua hakim anggota Nursyam SH MH dan IGAB Komang Wijaya Adhi SH MHum. (Bali Tribune-MB)