Ubud (Metrobali.com)-

Puri Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, kembali akan menggelar ritual pengabenan (pelebon) berskala besar, sebagai penghormatan terakhir terhadap almarhum Tjokorda Ngurah Wim Sukawati (90), putra sulung mantan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Tjokorde Gde Raka Sukawati.

Almarhum yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss 1975-1979 itu menghembuskan nafas terakhir dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Jakarta 24 Februari 2013 akibat penyakit menua.

Jenazah hingga kini masih disemayamkan di Puri Ubud, Kabupaten Gianyar, 25 km timur laut Denpasar, karena baru akan dipelebon (kremasi) pada hari Selasa, 14 Mei 2013, tutur keponakan almarhun, Tjokorda Asmara Putra yang juga anggota Fraksi Demokrat DPRD Bali.

Tradisi pelebon di Puri Ubud menggunakan kelengkapan upacara antara lain menara pengusungan jenazah (bade) bertingkat sembilan dengan total ketinggian mencapai 25 meter.

Selain itu juga dilengkapi dengan Naga banda dan lembu selem (hitam), kelengkapannya tidak jauh dengan kegiatan serupa yang pernah digelar sebelumnya, yakni 18 Agustus 2011 untuk menghormati jenazah Anak Agung Niyang Rai (80) ibunda dari mantan bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang akrab disapa Cok Ace.

Bade dan kelengkapan ritual pengabenan lainnya kini sedang dirampungkan melibatkan ratusan warga masyarakat dari Desa Pekraman (Adat) Ubud seperti Banjar Sambahan, Ubud Kelod, Ubud Kaja, Taman Kelod, Bentuyang, Kutuh kelod dan banjar Kutuh Kaja.

Material yang digunakan sepenuhnya dari bahan lokal dengan tenaga sukarela secara bergilir dari ke 14 banjar di lingkungan Desa Adat Ubud.

Kerangka bade yang sudah rampung itu dilengkapi dengan ornamen, sehingga tampak megah, menarik, unik dan mengandung unsur seni.

Ornamen kelengkapannya bentuknya menyerupai berbagai jenis binatang yang penggarapannya akan rampung dua-tiga hari sebelum kegiatan puncak.

Istri dari Belanda Almarhum Tjokorda Ngurah Wim Sukawati, putra dari pasangan Tjokorde Gde Raka Sukawati- Gusti Agung Niang Putu, sekaligus Raja Ubud periode 1917-1922 yang pernah dipercaya menjadi presiden NIT periode 1946-1950 itu meninggalkan seorang istri Nelly Luchsinger (83), perempuan asal Belanda yang dinikahinya.

Pernikahan itu melahirkan dua anak masing-masing Tjokorda Gede Raka Sven Sukawati dan Tjokorda Istri Vera Sukawati serta meninggalkan seorang cucu.

Almarhum semasa hidupnya dikenal sebagai orang diplomat ulung pada era pemerintahan Orde Lama (Bung Karno) maupun pada pemerintahan orde Baru (Presiden Soeharto).

Sosok kharismatik yang pernah dipercaya sebagai duta besar RI untuk Swis periode 1975-1979, merintis karier dalam bidang kepolisian, pernah menjabat komisaris PT Unilever Indonesia 1983-1999 dan direktur sejumlah perusahaan swasta lainnya.

Putri almarhum, Tjokorda Istri Vera Sukawati mengaku sangat mengagumi sosok sang ayah berkat kegigihannya menempa diri sehingga mampu menjadikan dirinya seorang figur yang lengkap dan penuh talente dalam berbagai bidang.

Hal itu berkat almarhum memegang teguh komitmen hidup, selalu belajar disiplin, tegas dan lugas dalam bertindak.

Tjokorda Asmara Putra menambahkan, almarhum semasa hidupnya dikenal sebagai sosok panutan dan keteladanan berkat menjalani kehidupan yang menyukai tantangan hingga meraih prestasi gemilang dalam mengemban tugas.

Bade bertingkat sembilan sebagai tempat pengusungan jenazah Tjokorda Ngurah Wim Sukawati dibuat dari batang pohon pinang dan rangkaian bambu, lengkap dengan pernak-pernik bunga emas untuk menggotong dari halaman puri Ubud menuju setra (kuburan) tempat kremasi yang berjarak sekitar 1,2 km arah timur puri.

Upaya menggotong bade itu membutuhkan ribuan tenaga warga setempat secara estafet. Sepanjang jalan yang dilewati pada kegiatan serupa tiga kali sebelumnya, terakhir pada 18 Agustus 2011 saat penghormatan terakhir kepada Anak Agung Niang Rai ibunda mantan Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati menjadi “lautan manusia”, termasuk wisatawan mancanegara yang secara khusus datang untuk menyaksikan pelebon berskala utama yang hampir tidak ditemui di belahan negara lainnya.

Demikian pula pengabenan yang pernah dilakukan Puri Ubud pada pertengahan 2008 hampir seluruh hotel di perkampungan seniman Ubud dan sekitarnya penuh, diperkirakan tidak kurang 350.000 wisatawan asing menyaksikan kegiatan yang unik dan langka itu.

Bahkan prosesi unik, langka dan menarik tersebut mendapat perhatian besar dari pers di berbagai belahan dunia yang mengirim wartawan maupun kameramen untuk meliput secara khusus pelaksanaan upacara penghormatan terakhir terhadap sesupuh Puri Ubud yang semasa hidupnya sangat aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Semua itu berkat karya seni menara pengusungan jenazah yang menjulang tinggi yang mempunyai nilai magis digotong ke Setra Desa Adat Ubud yang berjarak satu kilometer ke arah timur Puri Ubud.

Ubud yang dikenal sebagai perkampungan seniman, wilayahnya tidak begitu luas, dulunya merupakan sebuah kerajaan kecil, dikitari sawah menghijau, air mengalir jernih di sungai, pesona desa yang indah.

“Para Dewata” menakdirkan sebagai tempat yang penuh kegemilangan, alamnya menyimpan kekuatan gaib serta memiliki “benang merah” terhadap perkembangan agama Hindu di Pulau Dewata.

Perkampungan seniman Ubud dalam perkembangannya kini menjadi “satu titik desa dunia”, tempat manusia-manusia dari berbagai ras di dunia bertemu, menikmati keindahan alam dan tradisi masyarakat setempat, termasuk prosesi pelebon/ngaben yang diwarisi secara turun temurun.

“Dikenalnya Ubud sekarang di mancanegara merupakan sebuah anugerah dan berkah yang dapat memberikan kehidupan dan kesejahteraan kepada masyarakat setempat,” ujar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, seorang pewaris kalangan bangsawan Puri Ubud yang juga Ketua PHRI Bali sekaligus mantan Bupati Gianyar. INT-MB