Denpasar (Metrobali.com)-
Puri Agung Kesiman akan menganugerahkan sebilah keris sakral “Sekar Ghana” untuk Panglima Kodam IX/Udayana Mayjen TNI Wisnu Bawa Tenaya karena dipandang telah mampu menyelesaikan konflik sosial dengan pendekatan budaya.Penglingsir (tokoh) Puri Agung Kesiman Anak Agung Ngurah Gede Kusuma Wardana, di Denpasar, Kamis, mengatakan, keris tersebut merupakan bagian dari wujud anugerah yang diberi nama Dharma Kesatria Utama.

“Sifat anugerah ini sangat istimewa, jangan disamakan dengan penghargaan-penghargaan formal yang sudah diberikan instansi pemerintahan dan lembaga lainnya. Puri Kesiman baru pertama kali memberikan penghargaan semacam ini dengan tujuan untuk membangun sistem budaya yang mulai pudar,” katanya.

Selain Pangdam IX Udayana, anugerah serupa juga diberikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Denpasar yang diwakili KH Mustafa Al Amin dan Kelian Adat Banjar Kedaton Kesiman Denpasar I Gusti Putu Gede Yudana.

“Keris Ghana adalah simbol kebijaksanaan, keris ini sakral dan akan membawa vibrasi bagi yang membawanya. Dengan demikian diharapkan bisa menyelesaikan konflik dan selanjutnya dapat memberi rasa aman dan nyaman bagi masyarakat,” ujarnya.

Upacara penganugerahan Dharma Kesatria Utama akan digelar pada Jumat (24/5) ini dengan dihadiri oleh Gubernur Bali, Wali Kota Denpasar, dan tokoh-tokoh masyarakat.

“Sebelum keris itu dianugerahkan, Ida Pedanda (pendeta Hindu) akan menghaturkan upacara pemlaspas (penyucian) keris,” ujarnya.

Kusuma Wardana mengemukakan dasar pertimbangan ketiga tokoh itu dianugerahkan Dharma Kesatria Utama beranjak dari hampir terjadinya gesekan yang berpotensi terjadinya konflik horizontal maupun vertikal yang dipicu adanya miskomunikasi dan sosialisasi terhadap renovasi musholla di Jalan Waribang, Desa Adat Kesiman, Denpasar.

“Musholla Al-Fallah adalah rumah ibadah bagi anggota TNI yang beragama Islam, yang bertugas di Bekangdam IX/Udayana. Namun, dalam perkembangannya, pengurus mushola mempergunakan untuk kepentingan di luar fungsi utamanya, sehingga kondisi tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan para anggota desa adat yang hampir menyebabkan pecahnya konflik,” ucapnya.

Berbagai upaya, jelas dia, telah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, namun tak kunjung bisa selesai, hingga pada akhirnya melalui mediasi yang digelar oleh Puri Agung Kesiman dengan menghadirkan Pangdam IX Udayana beserta jajaran, MUI Kota Denpasar, dan kelian banjar (kepala dusun) beserta pengurus desa hingga akhirnya dapat diselesaikan secara budaya dan damai.

“Masalah ini sangat peka jika tidak segera diselesaikan karena menyangkut keyakinan dan tempat ibadah. Hal ini potensial menimbulkan konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” ujarnya. INT-MB