Jakarta (Metrobali.com)-

Mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Wiranto mengatakan bahwa kualitas penegakan hukum di Indonesia harus lebih ditingkatkan agar proses peradilan terhadap para koruptor tidak dijadikan sebagai suatu “komoditas” yang dapat “diperdagangkan”.

“Jangan sampai para aparat penegak hukum yang melakukan proses peradilan bagi para koruptor itu terkontaminasi dengan paraktik-praktik yang tidak jujur,” kata Wiranto saat ditemui usai menghadiri Seminar Nasional Empat Pilar Kebangsaan yang diadakan Fraksi Partai Hanura di Gedung Nusantara V DPR di Jakarta, Rabu (2/10).

Oleh karena itu, ia meminta agar para aparat penegak hukum yang sedang mengusut, menyidik, dan mengadili para koruptor untuk tetap menjalankan tugasnya dengan tetap berpegang pada prinsip kejujuran.

“Jangan sampai para penegak hukum ini malah terlibat dalam tindakan melanggar hukum yang membuat proses peradilan bagi para koruptor justru bisa ‘ditawar’ dan menjadi ‘barang dagangan’,” ujarnya.

Wiranto menekankan bahwa tugas utama dari aparat penegak hukum adalah menegakkan hukum sesuai kodratnya karena hukum merupakan kesepakatan kolektif dari suatu bangsa yang harus dijalankan dengan benar agar bangsa itu dapat hidup dengan teratur dan tertib.

“Kadang-kadang orang yang tidak melanggar hukum dinyatakan bersalah, dan orang yang melanggar hukum justru dinyatakan tidak bersalah. Hal ini yang membuat tidak adanya kepastian hukum di negeri ini,” katanya.

“Ketika hukum dijadikan komoditas maka hukum yang berlaku itu tidak dapat lagi membuat manusia tenang dalam menjalani kehidupan berbangsa,” lanjutnya.

Ketika ditanya mengenai wacana hukuman mati bagi para koruptor, mantan Panglima ABRI itu menyatakan setuju bila wacana itu akan dilakukan.

“Saya setuju saja. Hukuman mati adalah hukuman yang paling berat karena para koruptor ini kalau tidak mendapat hukuman yang berat, mereka tidak akan jera dan mereka bisa ‘berhitung’ di negeri ini,” tuturnya.

Menurut dia, beberapa negara yang memberlakukan hukuman mati tentunya membuat beberapa pertimbangan yang memperhitungkan nasib sebagian besar masyarakat yang dirugikan dengan adanya tindak pidana korupsi.

“Konsepnya kesana, bukan berarti secara sepihak mengahabisi nyawa seseorang dengan kejam. Mereka tidak hanya mengambil hak hidup seseorang, tetapi pertimbangannya adalah bila orang ini (koruptor) dibiarkan hidup maka akan mengakibatkan banyak kesengsaraan bahkan kematian bagi orang lain karena perilakunya,” kata dia.

“Orang sering lupa bahwa seseorang itu dengan perilakunya dengan korupsi besar-besaran dapat membuat banyak orang sengsara,” ujar Wiranto menambahkan.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengusulkan perlunya penerapan hukuman mati bagi para koruptor agar menimbulkan efek jera.

“Kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan. Oleh karena itu, koruptor harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor ‘kelas kakap’ harus dihukum mati agar memberi efek jera,” katanya.

Sehubungan dengan itu, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam rancangan KUHP yang kini sedang dibahas oleh DPR. AN-MB