Oleh: I Made Pria Dharsana

“Pemberontakan adalah kreatif”, kata Albert Camus. Pemberontak dan kreatifitas adalah dua hal yang teramat sulit untuk dipisahkan. semua tindakan kreatif selalu merupakan suatu bentuk pemberontakan. Demikian juga sebaliknya, dalam tiap pemberontakan terkandung usaha-usaha kreatif. Keduanya perjuangan untuk membebaskan diri dari batasan yang ada, status quo, yang dianggap usang, dengan mencari alternatif-alternatif baru yang diperhitungkan lebih sesuai dengan kebutuhan. Kreatifitas dan pemberontakan adalah gerak alam raya dalam mencari kesimbangan baru yang merupakan esensi dari kehidupan (Albert Camus, dll, 1998).
Menarik sekali apa yang dikatakan Albert Camus , dikaitkan dalam aksi demo masa 21-22 Mei 2019 pasca pengumuman KPU atas hasil Pilpres dan Pileg 2019. Semua tahapan- tahapan pemilu sudah dilalui dan dari sejak awal kubu paslon 02 sudah mengatakan ada data DPT yang tidak akurat, ada kecurangan , ada 7 kontainer kertas suara sudah tercoblos di tanjung priok padahal kertas suara juga belum dicetak oleh KPU: narasi- narasi dan diksi yang dikeluarkan kubu paslon 02 sangat tendisius, menyerang kubu paslon 01, juga wacana mendelegitimasi KPU dan penyelenggara pemilu lain nya ini dapat dikatakan kreatif dalam usaha untuk memenangkan kontestasi pilpres. dari awal tim pemenangan paslon O2 sudah mengatakan pemilu curang.. semua perangkat pemilu yang dibentuk secara independen pun tidak dipercaya. padahal semua perangkat pemilu dibentuk berdasarkan UU yg dalam pembentukan nya disetujui semua partai politik di DPR.
*Menjelang tahun politik 2019, dari mana dan muncul apa yang disebut gerakan populisme. yang begitu populer dalam satu dekade belakangan ini dengan adanya arab spring, dan terakhir muncul dalam pemilihan presiden Amerika. istilah populisme kerap muncul beriringan dengan demokrasi. Namun, apakah sebenarnya populisme itu? Bagaimanakah hubungannya dengan demokrasi? Populisme dan demokrasi adalah dua hal yang seringkali dikaitkan karena memiliki basis yang sama: kedaulatan kekuasaan rakyat (Abts & Rummens, 2007 , dalam Beby Pane). Basis serupa ini menciptakan semacam hubungan timbal-balik antara keduanya. Namun, populisme seringkali diidentifikasi sebagai demokrasi, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Populisme dapat definisikan sebagai sebuah “ideologi” yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok bertentangan antara orang yang memegang idealisme masyarakat dan kelompok elite yang berkuasa. Orang-orang murni ini kerap digambarkan sebagai masyarakat umum yang dirugikan oleh pemerintah korup (para elite). Ide politik yang dibangun adalah bagaimana menjalankan sebuah politik dan pemerintahan berdasarkan pada suara mayoritas masyarakat. Definisi lain menjelaskan bahwa populisme bukanlah sebuah agenda tertentu, tetapi sebuah cara tertentu: mobilisasi massa melawan “mereka” yang di atas (Pelinka, 2008 , dalam Beby Pane) masyarakat dan kelompok tertindas melawan kelompok elite diatas yang korup. Kebangkitan populisme muncul dengan meningkatnya ketidakpuasan publik atas status quo. Ketidakpuasan ini dikarenakan terjadinya ketidakstabilan ekonomi dan hak-hak sosial yang diabaikan oleh pemerintah. Kondisi ini dipergunakan oleh pimpinan para populis sebagai legitimasi untuk menyalahkan ‘mereka’ karena mengurangi kemakmuran, peluang kerja, dan layanan publik dari ‘kami’.
Kekurangan mampuan menghadapi dan kekalahan dalam persaingan globalisasi menjadi bagian yang tak diperhitungkan untuk menjadi lebih semangat mengatasi dengan kerja keras, tetapi sebaliknya. Narasi-narasi ini coba ditawarkan dan dijadikan bahan kampanye oleh paslon 02. sebagaimana disebutkan narasi model ini dibawa kaum populis pun biasanya mengenai angka kemiskinan yang tinggi, pengangguran dan penggusuran.
Fenomena politik identitas biasanya memiliki pemimpin sebagai titik sentral, tidak terkecuali dalam populisme. Keresahan-keresahan yang berkembang menjadi isu dibawa kaum populis untuk menyatukan dukungan masyarakat. populisme yang sekarang berlangsung di Indonesia cenderung kearah kanan, yang didasarkan kepada agama; menafikan kelompok dan agama lain; menafikan keberagaman. kecenderungan ini akan menciptakan dimana suara-suara minoritas tidak tersampaikan dan akan berujung kepada demokrasi yang tidak mempresentasikan semua golongan; kekuatan populisme kanan menisbikan adanya perbedaan. Pada konstitusi UUD 1945 mengatur keberagaman , memberikan perlindungan dan kesempatan dalam hidup kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil tanpa perbedaan mayoritas minoritas. Konsitusi kita menghargai adanya kebhinekaan di Indonesia. Populisme kanan bukan hanya anti elitis, tetapi juga anti pluralisme dengan dasar politik identitas yang eksklusif.
Baby Pane menyebutkan jika populisme yang hanya membawa narasi dari satu golongan luput dengan semangat menyatukan identitas satu kesatuan bangsa yang egaliter. tanpa semangat egaliter ini demokrasi yang diharapkan tidak bisa berjalan sebagaimana yang dicita-citakan; demokrasi seperti ini cenderung akan mengarah kepada otoriterisme karena melihat arah nya kepusat individu sebagai lokomotif gerakan populisme. Gerakan populisme inilah yang dapat membunuh Demokrasi. gerakan populisme dalam demokrasi sarat dengan kepentingan, jika hanya mementingkan kepentingan kelompok identitas tertentu pastinya demikian. Populisme dalam hal ini cenderung memecah belah bangsa. Populisme hanya dipergunakan untuk memobilisasi massa bagi kepentingan elite pimpinan nya sendiri, tanpa memperdulikan perpecahan rakyat. gerakan populisme seperti Ini lah yang mesti di waspadai bersama dan jangan ada kesempatan untuk berkembang di Indonesia.

*Sebagaimana juga disampaikan Fahrul Muzaqqi, paradoks populisme, 2019, model gerakan populisme makin marak di banyak negara seiring dengan perkembangan teknologi informasi. tujuan nya mencapai tujuan politik termasuk politik identitas, merebut perhatian massa publik untuk tujuan politik tertentu. memang seperti disampaikan Fahrul Muzaqqi tidak selalu buruk, tetapi melihat fenomena gerakan populisme dengan politik identitasnya di Indonesia dalam tahun-tahun belakangan ini maka politik identitas justru dapat memecah belah bangsa. apakah politik seperti ini yang akan dibiarkan ? ini menjadi pertanyaan besar bagi seluruh komponen anak bangsa Indonesia. kesadaran akan politik kebangsaan mesti terus dikedepankan agar bangsa dan negara Indonesia yang beragam dan berbhineka terus tumbuh dan berkembang menuju masyarakat yang sejahterera.

*Jika menilik bagaimana populisme berkembang di Indonesia. sekurang-kurangnya sejak Pemilihan Presiden 2014, isu populisme telah memasuki arena pertarungan politik. Ketika itu kedua kandidat yang bertarung mengusung dua model populisme nasionalis yang berbeda. berpandangan, munculnya pemimpin populis di Indonesia merupakan bentuk protes atas persoalan ketidakadilan sistematis yang tidak pernah disentuh dalam dua dekade demokrasi desentralisasi dimana otonomi daerah sebagai bagian era reformasi belum menemukan bentuk yang diharapkan.

Populisme adalah kritikan atas sistem demokrasi representatif yang gagal menciptakan keadilan sosial dan menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya. Populisme selalu ditandai dengan sikap anti elitisme dan anti-establishment. Populisme juga selalu ditandai dengan sikap antipluralisme. Slogan seperti ‘Kami dan hanya kami merepresentasikan kehendak rakyat yang sesungguhnya’ adalah ekspresi antipluralisme yang populis. Sikap antipluralisme terungkap dalam keengganan untuk berdebat guna mencari solusi alternatif terhadap persoalan politik. Para pemikir politik bicara tentang ‘policy without politics’ atau pengambilan kebijakan teknis tanpa adanya perdebatan substansial yang melibatkan warga. Patologi ini menyuburkan populisme ketika para populis menanggapinya dengan meniupkan politik identitas tanpa konsep politik. Kepada publik disuguhkan pertentangan antara teknokrasi dan populisme. Para teknokrat beranggapan bahwa hanya ada satu kebijakan teknis politik (policy) rasional sementara seorang populis berkampanye bahwa pandangannya merupakan ungkapan kehendak rakyat yang sesungguhnya , bahwa hanya kami yang mewakili masa rakyat. elite memanfaatkan keluguan rakyat dan memanipulasi wacana untuk meraih dukungan.

Baik populisme maupun teknokrasi dituntun oleh logika internal monolog dan antipluralistis. Hal ini yang tidak disadari oleh masyarakat kelas bawah termasuk kelas menengah kita, bagaimana elite politik menggunakan dogma agama yang membungkus wacana populisme , ketidak adilan ekonomi, pengangguran, yang digaungkan dengan sangat mudah membius. Para politikus populis dan teknokrat enggan berdiskusi untuk mencari solusi alternatif karena memandang posisi masing-masing sebagai dogma yang berlaku absolut. Di sini dua jenis fundamentalisme politik bertemu dalam satu sikap antipolitik. Demokrasi antagonistis Ini bertentangan dengan logika demokrasi yang senantiasa membuka ruang untuk berbuat salah, tetapi memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahan. Kemampuan untuk belajar dari kesalahan merupakan kekuatan demokrasi jika dibandingkan dengan sistem otoritarian. Demokrasi bukan dogma. Demokrasi membuka ruang dialogis dan semua mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan pendapat dan berhak menentukan pilihan nya. Demokrasi tidak dibangun anti kritik. Demokrasi dibangun dengan kesetaraan dalam berpendapat dan menerima perbedaan pendapat. Disinilah dapat terbangun demokrasi yang sehat. Sikap antikritik dan enggan mencari solusi alternatif merupakan model konsensus neoliberal yang telah mendorong lahirnya populisme. Alih-alih mengakui demokrasi sebagai sebuah diskursus tanpa kata akhir, kepada warga disuguhkan dogma bahwa hanya ada satu policy rasional.
Dalam hal ini pembungkaman potensi konflik dalam demokrasi berhasil menjinakkan antagonisme antara populisme kiri dan kanan. Populisme sesungguhnya dapat menjadi kekuatan transformatif dalam politik di Indonesia ketika berhadapan dengan cengkeraman oligarki . Untuk Indonesia tumbuh suburnya populisme dan politik identitas tidak terbangun dalam satu arah tetapi berbaur antara ketimpangan ekonomi, pengangguran, kekeringan pemahaman agama dan kepentingan elite tertentu dengan birahi kekuasaan nya. Ini lah menjadi pembauran yang menyatukan semua kelompok tersebut menjadi gerakan populisme dengan politik identitasnya. Untuk itulah pemerintah mesti dapat melakukan beberapa langkah agar ketimpangan sosial ini ditangani secara serius, jika tidak sejumlah persoalan sosial seperti politik identitas dan populisme kanan akan terus menguat dan dapat merusak sendi-sendi kebangsaa kita di Indonesia ke depan. Populisme di Indonesia gagal menjadi kekuatan antagonis terhadap oligarki karena proses demokratisasi di Indonesia sedang ditandai dengan absennya tradisi liberalisme (perjuangan untuk hak-hak individu) dan gerakan kiri yang mengedepankan agenda keadilan sosial (Bdk Hadiz dan Robinson, 2017, dalam Otto Gusti Marpaung). Politik menjadi arena pertarungan pelbagai model populisme. Akibatnya, populisme di Indonesia tidak memiliki daya emansipatoris, tapi diinstrumentalisasi untuk melanggengkan kekuasaan oligarki orde baru yang merasuk kedalam elite kekuasaan.

* pasca pengumunan Pilpres dan Pemilu 2019 oleh KPU, paslon yang kalah dengan kelompok pendukung nya dengan memaksakan kehendak tidak mau menerima hasil kekalahannya dan melakukan perlawanan ekstra jalanan, tidak bersedia menggunakan saluran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan gugatan hasil pilpres. Walaupun kemudian paslon 02 mengatakan dengan terpaksa akan menempuh jalur MK : Akan tetapi karena mungkin sudah dipersiapkan jauh hari dengan segala perlengkapan nya demo tetap dilaksanakan. Demo 21-22 Mei di depan Bawaslu dan beberapa titik ekonomi jakarta pun dilakukan; massa pendemo diterengai disusupi kelompok-kelompok tertentu sebaimana disampaikan Polri dibeberapa media masa , dengan ditangkapnya beberapa orang yang diinditifikasi sebagai teroris yang akan membonceng dan melakukan kerusuhan dengan agenda membuat caos. Agenda politik seperti 1998 diharapkan terulang kembali, kekuatan politik kekerasan yang menumpang dalam demo menolak kekalahan pun tak berhasil; Kelompok-kelompok yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya korban yang jatuh kemudian lepas tangan dan tidak bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi, atas kerugian ekonomi yang cukup besar pasca demo. Apakah dengan demikian pemaksaan kehendak melalui demo kemenangan dapat diraih? Syukur tidak. Demokrasi yang sudah terbangun di Indonesia pasti tidak mudah dinisbikan kembali. Kita sudah pernah merasakan bagaimana orde baru dalam 32 kekuasaan nya memanfaatkan demokrasi bagi kepentingan kelompoknya dengan membajak demokrasi melalui pemilu; Ketegasan Polri-TNI dalam menangani demo sangat baik tetapi korban tetap berjatuhan . Siapapun yang melakukan demo yang anarkis dan rusuh mesti ditindak tegas tanpa pandang bulu apalagi yang berkehendak melakukan Makar terhadap pemerintahan yang sah. Hukum mesti ditegakan dan pelakunya mesti mendapatkan hukuman yang setimpal;
Negara harus kokoh melawan gerakan-gerakan yang ingin menjatuhkan pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu yang demokratis: Demokrasi yang terbangun di Indonesia pasca Reformasi sudah menuju arah yang baik, segala kekurangan nya mesti dilakukan perbaikan melalui usaha dan perjuangan kita semua. Indonesia mesti mencegah agar kelompok ektrimis tak berkuasa. jangan biarkan kelompok-kelompok ini masuk melalui lembaga-lembaga resmi demokrasi, melalui partai politik. Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, 2019, mengatakan; pendekatan komparatif juga mengungkapkan bagaimana autokrat hasil pemilu diberbagai dunia menggunakan strategi-strategi yang amat mirip untuk membajak demokrasi. kemudian dikatakan juga satu test penting bagi demokrasi bukanlah apakah tokoh-tokoh semacam itu muncul, melainkan apakah pemimpin politik, dan terutama partai politik, bekerja untuk mencegah mereka meraih kekuasaan- dengan tidak memberikan mereka tempat penting di partai, menolak menyetujui atau bersekutu dengan mereka, dan kalu perlu, bekerja sama dengan pesaing calon-calon demokratis. Ini menjadi pengetahuan dan pembelajaran bagi partai politik di Indonesia jangan memberikan kelompok-kelompok ekstrimis tempat di dalam partai dan jangan memberikan aturan yang membolehkan kelompok seperti ini membuat partai politik di Indonesia. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt selanjutnya mengatakan, mengisolasi ekstrimis populer membutuhkan keberanian politik. Namun ketika rasa takut dan oportunisme, atau kesalahan perhitungan membuat partai-partai mapan membawa kaum ekstrimis ke arus utama, maka demokrasi menghadapi masalah. Ini yang harus dapat dicegah kaum demokrat dan seluruh komponen bangsa Indonesia.

Donny Gahral Andian, ed, 2007, mengatakan Demokrasi mesti membesi lewat hukum yang keras terhadap politik kekerasan. Membesinya demokrasi membuat satu-satunya perjuangan politik yang sah adalah persuasi dan dijalankan dalam koridor kebebasan dasar manusia. perjuangan politik lewat kekerasan tak ayal mampu memberangus kebebasan dan meloloskan otoritatianiame baru. Oleh karena itu hukum yang keras dapat mencegah tumbuhnya politik kekerasan dan menumbuhkan pasar baru bagi pemain politik; Masuknya politisi dengan dengan kekerasan dalam jubah pupolisme dan politik identitas keranah pemilu mesti diantisipasi; akan lebih berbahaya karena bisa jadi memenangkan kekuasaanan melalui pemilu yang sah. Ini yang mesti dicegah dan Demokrasi dipertahankan dengan Hukum yang tegas. Jangan biarkan Populisme kanan dengan politik identitas nya membajak dan mematikan Demokrasi Indonesia.

denpasar, 30.05.19