ilustrasi mericaSurabaya (Metrobali.com)-

 

Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya mengungkap pabrik merica palsu yang dikelola oleh sebuah industri rumahan di Jalan Ploso Timur 1 Surabaya, Jawa Timur.

“Ini adalah hasil kerja dari Tim Satuan Tugas Pangan Polrestabes Surabaya,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi Shinto Silitonga di Surabaya, Minggu (14/5).

Shinto menyebut produk merica palsu dari industri rumahan ini bermerek “Cap Dua Lombok”.

“Pelaku usaha Cap Dua Lombok menjual produk kemasan merica bubuk dengan komposisi merica yang telah dihaluskan dicampur nasi karak yang juga telah dihaluskan,” terangnya.

Komposisi dalam produk merica bubuk palsu Cap Dua Lombok yang dicampur nasi karak ini perbandingannya 5 : 1.

“Lebih banyak nasi karak daripada mericanya, yaitu lima nasi karak berbanding satu merica,” jelasnya.

Pelaku usaha Cap Dua Lombok berinisial J mengaku memilih nasi karak sebagai bahan campuran produk kemasan merica bubuk karena setelah dihaluskan warnanya sama dengan merica.

Namun, dia berdalih baru mencampur bahan baku merica bubuk dengan nasi karak sekitar setahun terakhir dari keseluruhan usahanya yang telah berjalan selama 10 tahun.

Setiap bulan, rata-rata dia mampu memproduksi 2,5 ton bubuk merica palsu, kemudian mengemasnya per 50 miligram, lantas menjualnya Rp15 ribu per lusin. Produknya dipasarkan ke berbagai pasar tradisional di Surabaya dan sekitarnya.

“Bagi kami bukan soal harganya apakah lebih miring atau sama dengan harga kemasan produk merica bubuk lainnya. Akan tetapi, pelaku usaha telah melakukan pelanggaran, yaitu mencampur bahan baku yang tidak sesuai dengan mutunya dengan tujuan mengurangi nilai produksi,” jelas Shinto.

Terlebih, produk kemasan merica bubuk Cap Dua Lombok tersebut tidak mengantongi izin edar dari Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Di kemasan merica bubuk Cap Dua Lombok hanya tertera izin dari Departemen Kesehatan. Setelah kami telusuri perizinan itu mereka dapatkan sejak 10 tahun yang lalu,” jelasnya.

Namun, polisi masih belum menetapkan J sebagai tersangka dengan alasan masih melakukan pengembangan penyelidikan.

“Pelaku terancam Pasal 142 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 62 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hukumannya minimal 5 tahun penjara,” ujar Shinto. Sumber : Antara