Zaini Abdullah

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerintah Aceh meminta tim transisi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) menjadikan Aceh atau “Serambi Mekah” sebagai wilayah dengan agenda prioritas pembangunan yang mendesak.

“Tanpa bermaksud mendahului Putusan Mahkamah Konstitusi (atas sengketa hasil Pilpres), di mana untuk sementara mengacu pada Keputusan KPU, maka Aceh harus menjadi salah satu aspek yang dikaji Tim Transisi Jokowi-JK sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan yang mendesak dan menuntut penyikapan segera,” kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah, di Jakarta, Jumat (8/8).

Atas dasar itu, pada hari ini Pemerintah Aceh bersama dengan Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) menyelenggarakan acara “Sosialisasi MoU Helsinki dan UU RI Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh untuk Kepemimpinan Nasional Yang Baru”.

Acara sosialisasi itu dilakukan pemerintah Aceh dalam rangka merawat dan memperkuat perdamaian berkelanjutan di Aceh.

Secara praktis kegiatan ini didasari fakta bahwa nota kesepahaman atau MoU Helsinki dan UU PA masih dipahami terbatas oleh beberapa elit politik di negara ini, kata dia.

Di sisi lain, menurut dia, pemerintahan secara umum belum sepenuhnya memahami secara holistik hakikat dari MoU Helsinki dan kedudukan UU PA bagi Aceh. Hal itu menurut dia, diindikasikan belum terbentuknya seluruh regulasi yang merupakan atribusi dan mandat UU PA, hingga memasuki tahun kesembilan MoU Helsinki.

MoU Helsinki dan UU PA merupakan landasan pembangunan Aceh baru sejak disepakatinya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia 15 Agustus 2005 silam, guna mencapai masyarakat Aceh yang damai, mandiri dan makmur, dan sejahtera dalam bingkai NKRI.

“Namun Aceh baru, belum sepenuhnya terwujud, akibat belum terbangunnya pemahaman yang sama mengenai MoU Helsinki dan UU PA tersebut. Perbedaan pandangan masih mendominasi proses-proses pembahasan peraturan pemerintah, peraturan presiden dan juga qanun-qanun yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan pemerintah Aceh,” ujarnya.

Dia menekankan bahwa pemerintah Aceh meyakini pemerintah pusat masih memiliki komitmen dan itikad kuat menuntaskan kewajiban bersama memproduksi peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang menjadi turunan UU PA yang hingga kini masih tertunda.

Seiring dengan keyakinan terhadap pemerintah pusat, kata dia, Pemerintah Aceh juga terus membangun dialog kebijakan untuk mencari titik temu dan kebaikan-kebaikan dalam seluruh proses pembentukan peraturan.

“Semangat ini harus terus dirawat dan dikelola secara produktif, bahkan diujung masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” ucapnya.

Dia menegaskan, Pemerintah Aceh meyakini pemerintahan Presiden Yudhoyono akan bekerja keras menuntaskan tugas di masa akhir jabatan, terkait amanat UU PA, membentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden pada bidang-bidang krusial di antaranya terkait kewenangan pemerintah Aceh, peraturan pemerintah terkait pengelolaan sumber daya alam dan juga peralihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Aceh.

Sebab, penuntasan tugas itu diyakini akan memastikan legasi positif, konstruktif dan berkontribusi pada penguatan perdamaian secara berkelanjutan. AN-MB