Foto: Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) Komang Gede Subudi.

Denpasar (Metrobali.com)-

Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) Komang Gede Subudi mengapresiasi keseriusan Gubernur Bali I Wayan Koster dalam menjaga dan melestarikan Tari Sakral Bali sebagai bagian ritus upacara dan upakara Agama Hindu di Bali.

“Selaku pembina YPBJ yang bergerak di bidang pelestarian situs dan ritus, kami sangat sejalan, apresiasi dan dukung penuh keputusan bersama ini. Gubernur Bali sangat serius menjaga taksu Bali sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali ,” kata Subudi Minggu (22/9/2019).

Apresiasi dan dukungan ini disampaikan pasca Gubernur Koster menandatangani Keputusan Bersama Ketua PHDI, Bendesa Agung MDA, Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya), Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan Rektor ISI Denpasar tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali.

Surat Keputusan Bersama ini ditandatangani di Rumah Jabatan Gubernur Bali Jaya Sabha Denpasar, Selasa pagi (17/9/2019).

Dengan keluarnya Keputusan Bersama ini, Tari Sakral Bali tidak boleh lagi dipentaskan untuk kepentingan di luar upacara dan upakara agama. Seperti tidak boleh lagi dipentaskan untuk kepentingan pariwisata misalnya dilarang ditampilkan di hotel-hotel atau panggung pertunjukan.

Menurut Subudi keputusan bersama tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali ini sangat tepat. Terlebih juga dilanjutkan dengan komitmen dan perhatian nyata Gubernur Bali akan memberikan penghargaan kepada kelompok-kelompok seniman termasuk yang mampu tetap melestarikan Tari Sakral ini.

“Yang melestarikan memang harus diberikan reward. Kami salut dengan perhatian serius Pak Gubernur Koster,” kata Subudi yang juga Ketua Umum Badan Independent Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) ini.

Namun menurutnya ada sebagian masyarakat Bali yang tidak tahu dan tidak pernah melihat Tari Sakral ini. Bahkan banyak yang  tidak pernah mendengar namanya.

Karenanya harus dicarikan formulasi untuk tetap bisa memperkenalkan Tari Sakral ini kepada publik tanpa juga menggangu nilai-nilai kesakralannya apalagi mengkomersialkannya.

“Bagaimana cara memperkenalkan kepada umat dan melestarikan harus dirumuskan secara jelas. Tidak boleh dipertontonkan kepada semua khalayak tapi wajib diperkenalkan kepada umat di pentas tertentu. Dan saya yakin pemerintah sudah memikirkan hal-hal ke arah itu,” kata Subudi.

Pihaknya pun berharap keputusan bersama ini dijalankan semua pihak. Khususnya juga para stakeholder pelaku pariwisata agar tidak lagi mementaskan Tari Sakral untuk kepentingan komersial, menjadi bagian atraksi, hiburan atau daya tarik kepada wisatawan.

“Kalau sudah ada keputusan bersama saya yakin masyarakat pariwisata akan melaksanakan dengan baik. Apalagi sudah jelas diklasifikasikan mana yang Tari Sakral,” pungkas Subudi.

Ini Aksi Nyata YPBJ Lestarikan Situs dan Ritus Bali

Sementara itu YBPJ juga telah menunjukkan aksi nyata dalam upaya pelestarian situs dan ritus di Bali. Misalnya YBPJ telah sukses menggelar pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali” di Denpasar Art Space (DAS), Jl. Surapati No. 7, Denpasar, pada 25 April hingga 9 Mei 2019.

Pameran ini  menampilkan lebih dari 130 foto, lukisan, dan drawing tentang situs dan ritus serta berbagai aktivitas lain seperti Kelas Budaya ini tergolong sangat sukses dengan disambut antusias dan diapresiasi total ribuan pengunjung.

Pameran ini pun menjadi tonggak sejarah baru bagi upaya menjaga taksu Bali lewat pelestarian warisan situs dan ritus peradaban Bali yang mulai terancam dan tergerus dengan adanya praktik-praktik pembongkaran pura tua secara masif di Bali.

Selanjutnya YBPJ juga sukses menggelar acara yang cukup menginspirasi dalam rangka menyambut HUT ke-74 NKRI. Mengangkat tema “Genderang Persatuan Indonesia, Membumikan Nusantara Menduniakan Indonesia,” YPBJ mendukung aksi Kunto Hartono, drummer Indonesia pemegang rekor dunia Guinness World Records dengan penampilan “NGEDRUM 7,4 JAM NON-STOP DENGAN MATA DITUTUP, TELINGA DISUMPAL & MULUT DILAKBAN”.

Aksi Ngedrum ini dilakukan di Pantai Festival Padang Galak, Denpasar dari Sabtu siang hingga malam pada 10 Agustus 2019. Dirangkai juga dengan aksi unik lainnya yakni melukis dengan mata tertutup yang dilakukan Ki Jembrong, seniman sekaligus penekun spritual asal Malang.

Ini Isi Surat Keputusan Bersama

Seperti diberitakan sebelumnya, Surat Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali ini ditandatangani di Rumah Jabatan Gubernur Bali Jaya Sabha Denpasar, Selasa pagi (17/9/2019).

Dengan keluarnya Keputusan Bersama ini, Tari Sakral Bali tidak boleh lagi dipentaskan untuk kepentingan di luar upacara dan upakara agama. Seperti tidak boleh lagi dipentaskan untuk kepentingan pariwisata misalnya dilarang ditampilkan di hotel-hotel atau panggung pertunjukan.

“Tari Sakral tidak boleh lagi digunakan dan dipentaskan di hotel, untuk dapatkan rekor MURI. Itu namanya sudah desakralisasi. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut sebab akan rusak tatanan seni sakral yang diwariskan leluhur,” tegas Gubernur Bali I Wayan Koster dalam keterangan persnya kepada awak media.

Ada lima poin utama dalam Surat Keputusan Bersama ini. Pertama, menetapkan penguatan dan pelindungan Tari Sakral Bali. Kedua, jenis dan nama Tari Sakral Bali sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

Ketiga,  melarang semua pihak mempertunjukkan/mempertontonkan /
mempergelarkan/mementaskan segala jenis dan bentuk Tari Sakral Bali di luar tujuan sakral (Upacara dan Upakara Agama Hindu).

Keempat, Prajuru Desa Adat, lembaga pemerintah/non pemerintah, sekaa/sanggar/komunitas dan masyarakat Bali diharuskan
melakukan langkah-langkah pencegahan, pengawasan, dan pembinaan dalam rangka Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali.

Kelima, bilamana terjadi pelanggaran terhadap diktum kedua dalam Keputusan ini, akan diambil tindakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yakni 17 September 2019.

Ini Tari Yang Disakralkan

Total ada 129 tari yang dikategorikan Tari Sakral dalam Lampiran Keputusan Bersama ini yang dikategorikan dalam 19 kelompok Tari Sakral. Yakni kelompok Tari Baris Upakara, kelompok Tari Sanghyang, kelompok Tari Rejang, kelompok Tari Barong Upacara.

Lalu Tari Pendet Upacara, Tari Kincang-Kincung, Tari Sraman, Tari Abuang/Mabuang, Tari Gayung, Tari Janger Maborbor, Tari Telek/Sandaran, Tari Topeng Sidakarya, Tari Sutri, Tari Gandrangan Upacara.

Kemudian Tari Wayang Wong Upacara, Wayang Kulit Sapuh Leger, Wayang Kulit Sudamala/Wayang Lemah dan Tari Sakral lainnya yang menjadi bagian utuh dari ritus, upacara, dan upakara yang dilangsungkan di berbagai Pura dan wilayah Desa Adat di Bali.

Keluarnya Surat Keputusan Bersama ini didasarkan atas berbagai pertimbangan. Pertama, dalam perkembangan pementasan ditemukan banyak Tari Sakral Bali yang dipertunjukkan di luar tujuan-tujuan upacara/upakara tradisi, adat dan  keagamaan Hindu.

Jenis Tari yang dimaksud antara lain:
Tari Rejang, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede, Wayang Lemah, dan lain-lain untuk tujuan non sakral.

Kedua,fenomena sebagaimana dimaksud tersebut sangat merisaukan, mencemaskan, dan memprihatinkan para seniman, budayawan, pemuka adat, pemuka agama, pemangku- kepentingan, dan krama Bali pada umumnya.

Sebab dapat mengakibatkan merosotnya nilai-nilai kesakralan, memudarnya keutuhan seni, aura magis, muatan taksu, serta dapat menghilangkan sumber kreativitas/ penciptaan seni

Ketiga, dirasakan perlu menentukan sikap untuk mengatasi fenomena tersebut dengan cepat, tegas dan bermanfaat dalam upaya Penguatan dan Pelindungan Kebudayaan Bali sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, melalui POLA PEMBANGUNAN SEMESTA BERENCANA, menuju BALI ERA BARU.

“Surat Keputusan Bersama Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali ini sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali menuju Bali Era Baru,” tegas Gubernur Koster. (wid)