Oleh: I Gde Sudibya

Dari perubahan postur APBN 2020, diberitakan Kompas ( 27/6 ) dalam Perpres No.72/2020, diundangkan 25 Juni 2020, biaya penanganan untuk pandemi Covid-19 dianggarkan Rp.695,2 trilliun, karena pandemi ini, APBN.2020 menjadi defisit: Rp.1.039,2 trilliun, setara dengan 6,34 % dari PDB.

Perlu manjadi catatan karena defisit ini, seluruhnya dibelanjai dengan hutang, total pembiayaan pandemi dengan hutang, yang tenor obligasinya di atas 10 tahun, dan bahkan ada yang 50 tahun, berarti biaya ini menjadi beban untuk generasi-generasi berikutnya.
Dalam sebuah negara demokrasi, tranparansi dan pertanggungan jawab kepada publik  terhadap pembiayaan ini, menjadi sebuah keniscayaan.
Komposisi Pembiayaan Pandemi. Komposisi pembiayaan pandemi, terbagi dalam beberapa kategori: 1. Kesehatan: Rp.87,55 triliun. 2. Perlindungan Sosial: Rp 203,9 triliun.3. Sektoral: Kementrian, Lembaga dan Pemda: Rp.106,11 triliun. 4. UMKM.: Rp.123,46 triliun. 5. Insentif Usaha: Rp.120,61 triliun. 6. Pembiayaan Korporasi: Rp.53,57 triliun.
Tranparansi pembiayaan
Mengingat begitu besarnya dana yang akan dikeluarkan: Rp.659,2 triliun, mencakup kegiatan yang begitu luas dalam berbagai lingkup program kesehatan, bantuan sosial untuk puluhan juta warga yang tidak mampu dalam kebijakan jaring pengaman sosial, jutaan UMKM yang ingin diselamatkan, dana desa dalam jumlah besar untuk ribuan desa, insentif usaha terutama yang berhubungan dengan keringanan perpajakan untuk puluhan ribu pengusaha, dana untuk sejumlah BUM yang langsung dan tidak langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan atau oleh pemerintah dinilai punya peran sangat strategis untuk  mengungkit kembali perekonomian.
Transparsnsi penggunaan dana ini dan tingkat efektivitasnya sangat diperlukan, melalui berbagai mekanisme. 1. Pelaporan secara periodik oleh tim nasional yang khusus dibentuk untuk itu, sebutlah sebulan sekali, mulai 25 Juli, berdasarkan kategori kegiatan, 1 bulan pasca Perpres No.72 di atas diundangkan.
2. Melalui mekanisme dengar pendapat di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, sesuai dengan kewenangan pengawasan yang dimilikinya. 3. Pemberian informasi secara luas melalui media sosial, termasuk berbentuk webinar, terhadap program yang telah dan akan dilaksanakan.
Transparansi dan mekanisme penyampaian ke publik, untuk menjamin pengawasan cheks and balances bekerja optimal,  meminimalkan kemungkinan moral hazard, dan membangun trust ke lembaga-lembaga publik.
Dari transparansi ini, publik menjadi tahu, misalnya, berapa besarnya dana jaring pengaman sosial pada daerah yang penduduk miskinnya banyak dan rentan menjadi miskin, dan efektivitasnya,  berapa dana yang dikeluarkan untuk PSBB Surabaya Raya ( Surabaya, Gresik dan Sidoarjo ), berapa dana untuk penyelamatan UMKM, jumlah perusahaannya dan cakupan wilayahnya.
Pembiayaan korporasi untuk Garuda dan Perum KA, dipergunakan untuk apa. Untuk di Bali, bagaimana skema bantuan untuk pelaku industri pariwisata, untuk menghindari risiko kebangkrutan. Langkah-langkah apa yang telah dan akan dilakukan untuk penyelamatan   tourist resort, seperti: Kuta, Legian, Seminyak, Ubud, Pemuteran yang menjadi land mark pariwisata Bali selama ini.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat kebijakan publik.