Salamuddin Daeng

Jakarta (Metrobali.com)-

Peneliti dan pengamat ekonomi The Institute for Global Justice, Salamuddin Daeng, menilai pembentukan Satgas Mafia Migas oleh presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai hanya membuat pengurus mafia baru menggantikan pengurus mafia lama.

“Cara menangani mafia migas dengan membentuk Satgas Mafia Migas menunjukkan bahwa Jokowi-JK salah kaprah dalam memahami masalah mafia di sektor migas,” kata Salamuddin, di Jakarta, Kamis (11/9).

Cara penanganan semacam itu, lanjut dia, menunjukkan ketidakpahaman terhadap filosofi, sejarah, bagaimana mafia migas terbentuk dan bekerja.

“Apalagi jika Satgas Anti-Mafia Migas terdiri dari orang-orang yang sebelumnya terlibat langsung atau aktor utama dalam bisnis migas di Indonesia,” katanya.

Dirinya khawatir sederet mafia besar, baik yang ada di luar maupun di sekeliling Jokowi-JK, tetap tak tersentuh hukum. Jika itu terjadi, menurutnya, pemberantasan mafia migas akan menjadi lipstik saja untuk menutupi tujuan sebenarnya yakni mengganti pengurus mafia lama dengan pengurus mafia baru.

“Mestinya Jokowi-JK belajar begaimana sejarah mafia migas ini terbentuk sehingga dapat menentukan strategi yang benar untuk mengatasinya,” usulnya.

Berdasarkan penelusurannya, mafia migas terbentuk sejalan dengan penghancuran konstitusi dan liberalisasi sektor migas. Mafia semakin kuat seiring dengan semakin lemah dan hilangnya peran negara dalam pengeloaan migas nasional.

Akibatnya, kata Salamuddin, sektor migas dikuasai dan dikendalikan oleh modal internasional bekerja sama dengan sindikat dalam negeri dengan memanfaatkan mafia di dalam institusi penyelenggara migas di pemerintahan dan badan usaha migas.

“Mafia migas hidup dalam seluruh rantai suplai pengelolaan migas, mulai dari hulu hingga ke hilir, mulai dari pemberian kontrak PSC yang merugikan negara, manipulasi produksi, mengambil keuntungan besar dari ekspor-impor minyak, dan mencuri minyak bersubsidi yang menjadi milik rakyat untuk dijual kembali ke swasta dan luar negeri,” jelasnya.

Faktanya, dia menyatakan bahwa mafia migas asing telah menjadi kepala mafia di hulu.

“Mereka menggerogoti migas dengan cara ‘mark up’ dana ‘cost recovery’, manipulasi jumlah sumur dan angka produksi, manipulasi nilai bagi hasil, hingga pajak,” kata Salamuddin.

Di sektor hilir, dirinya juga menemukan mafia migas nasional mewabah menjadi mafia di hilir. Para mafia hilir ini menggerogoti mulai dari jatah minyak milik negara yang diserahkan kontraktor, dana subsidi dari APBN, serta pencurian BBM bersubsidi yang menjadi jatah rakyat dijual ke industri dan luar negeri.

Selain itu, kata dia, mafia migas menguasai institusi penting penyelenggara migas seperti ESDM, SKK migas, Badan Penyelenggaara Hulu (BPH) migas, Partamina, PN Gas.

“Institusi-institusi tersebut menjadi alat menyedot uang untuk sebagian disetor kepada kepala kepala mafia yang umumnya duduk dalam kekuasaan yang lebih tinggi level politiknya,” kata Salamuddin.

Oleh karena itu, dirinya menilai cara Jokowi menangani mafia dengan pendekatan mafia baru akan semakin membahayakan kondisi ketahanan energi ke depan.

“Peperangan antarmafia dalam menguasai bisnis ribuan triliun ini akan menimbulkan huru hara politik. Tidak hanya mengganggu stabilitas ekonomi, namun juga stabilitas politik dan akan semakin meningkatkan keresahan sosial,” jelasnya. AN-MB