Bangli (Metrobali.com) –

Terbitnya peraturan bupati (Perbub) Bangli nomor 37 tahun 2019 tentang retribusi tempat rekreasi yang berlaku diawal tahun 2020 mendapat perhatian serius dari pelaku pariwisata di Kota Bangli, kenaikan tarif tersebut dinilai kurang elok ditengah menurunnya kunjungan wisatawan asing akibat wabah virus corona. Hal itu disampaikan ketua PHRI Bangli Dr. I Ketut Mardjana kepada wartawan di Kintamani, Kamis (27/2/2020).

Menurut Mardjana yang juga General Manager Toya Devasya itu, pelaku pariwisata yang tergabung dalam PHRI, ASITA dan HPI sudah menyurati Bupati Bangli agar kenaikan tarif retribusi ditunda.

“Terhadap kenaikan retribusi dimaksud banyak menuai protes dari pelaku pariwisata. Bahkan, diungkapkan melalui sosial media. Makanya kita harapkan ada penundaan,” tegas Mardjana.

Seiring dengan kebijakan pemerintah pusat yang menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk menstimulus sektor agar tidak goncang, menurut Mardjana, Pemkab Bangli tentu bisa memahami. “Bahwa pemerintah pusat sudah begitu gencar menstimulus ekonomi agar sektor pariwisata tidak terhenti. Kalau ini sampai krisis maka sektor ekonomi terganggu,” kata Mardjana.

Perhatian pentingnya lainnya dari pemerintah kata Mardjana, adalah adanya pemberhentian setoran PHR sebesar 10 persen selama enam bulan.

“Tarif penerbangan juga sudah diturunkan sekitar 30 persen untuk sepuluh destinasi. Yang salah satunya adalah Bali. Begitu pusat melihat dampak pariwisata terhadap ekonomi,” urai Mardjana.

Lebih jauh kata Marjana, wagub Cok Ace terus gencar melakukan sosiallisai tentang stimulus ekonomi untuk menjaga stabilitas pariwisata.

“Pak gubernur juga memanggil tokoh pariwisata. Artinya apa? Mereka cepat responnya. Bangli kok tak ada suaranya,” sebutnya memberi alasan.

Pihaknya menyayangkan Pemkab Bangli belum ada respon atas permohonan pelaku pariwisata soal penundaan kenaikan retribusi.

Naiknya retribusi dari Rp 31 ribu menjadi Rp 51 ribu ditengah wabah corona mengesankan berdarmawisata ke Kintamani mahal. Apalagi ada empat titik punggutan.

“Jika tidak ada wisatawan, yang terpukul ekonomi rakyat,” sebutnya.

Sementara tokoh Kintamani I Wayan Mantik yang juga bergerak dibidang pariwisata menyebut PAD bukan segala – galanya cara mensejahterakan masyarakat.

“Ini adalah bagian terkecil. PAD yang disalurkan lewat dana ADD ke setiap desa tidak sepenuhnya menjamin kesejahteraan. Yang terpenting bagaiamana pemerintah bisa membangkitkan entrepreneur muda. Ini yang bisa menghidupkan dan menumbuhkan ekonomi,” kata Mantik.

Terkait kenailan tarif, Mantik menyebut itu alasannya untuk menaikan PAD.

“Harus dievaluasi. Apalagi pusat sudah menstimulus ekonomi untuk menjaga sektor pariwisata,” pungkas Mantik. (hd)