workshop budaya 1Denpasar (Metrobali.com)-

Sistem pertanian masyarakat Bali yang dikenal dengan Subak dan merupakan salah satu Situs Warisan Budaya dunia yang ditetapkan oleh Badan PBB Unesco, menimbulkan rasa bangga karena merupakan satu kehormatan, namun di satu pihak predikat ini merupakan satu tantangan. Pesatnya perkembangan sektor pariwisata di Bali tidak hanya membawa dampak positif dibidang ekonomi, tetapi juga membawa dampak negatif terhadap keunikan budaya dan keindahan lingkungan yang diakibatkan karena tidak terkontrolnya perkembangan sektor pariwisata. Tetapi Pastika yakin konsep Tri Hita Karana yang  merupakan  filosofi hidup orang Bali akan bisa melindungi subak dari kondisi tersebut. Demikian penegasan yang disampaikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam sambutannya yang disampaikan oleh Wagub Ketut Sudikerta saat menghadiri acara Inisiasi Workshop dalam Pariwisata berkelanjutan di Situs Warisan Budaya Dunia yang bertajuk ‘Lansekap Budaya Provinsi Bali : Subak sebagai Manifestasi  Filosofi Tri Hita Karana.’, di Hotel Sanur Paradise, Rabu (21/10)  Pastika berharap setiap pemegang kebijakan dapat menghargai esensi dari Tri Hita Karana dalam pelaksanaan sektor pariwisata dan inovasinya. Dengan kerjasama yang baik dari seluruh pemegang kebijakan, Pastika yakin masa depan Bali yang dikenal sebagai Pulau Dewata tetap terjamin. Satu prinsip yang harus diingat, wisatawan akan tetap mengunjungi Bali apabila kondisi itu bisa tercapai.   “Wisatawan internasional akan tetap berkunjung ke Bali untuk menikmati Bali sebagai pulau dewata, satu tempat yang tidak bisa ditemukan ditempat lain,” pungkas Pastika.     

Lebih jauh Pastika memaparkan Subak tidak bisa dipisahkan dari filosofi agama Hindu yakni Tri Hita karana yang merupakan 3  harmonisasi yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, yang semua hubungan tersebut bisa dilihat dalam lingkup sistem Subak yang menciptakan satu kehidupan yang harmonis.  Tri Hita Karana menurut Pastika menggambarkan betapa kayanya Bali dengan sistem budaya, dan penghormatan kepada alam sehingga Bali tekenal sebagai pulau dewata.           

Sementara itu Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kacung Marijan, menyampaikan bahwa pengelolaan Subak di Bali haruslah terintegrasi, menyeluruh dan lintas sektoral yang melibatkan Kementerian terkait, tidak hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetapi menurutnya juga Kementerian Pariwisata. Pengelolaan tersebut menurutnya juga juga harus melibatkan pemerintah tingkat Provinsi dan Kabupaten. Pengelolaan yang terintegrasi haruslah menjamin pelestarian di aspek warisan benda maupun warisan hidup atau tak benda dari situs warisan budaya dunia. Untuk itu Ia menekankan bahwa inti dari sistem Subak adalah masyarakat, sehingga pemerintah diharapkan senantiasa mendukung pengelolaan berbasis masyarakat dalam melestarikan sistem Subak tersebut.

 

Hal senada dengan Marijan disampaikan Staf Ahli Menteri Pariwisata, Kementerian Pariwisata, Hari Untoro Dradjat, yang menilai modifikasi dalam warisan budaya adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu, menurutnya sangat penting untuk mengembangkan strategi pariwisata budaya yang berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat. Strategi yang dimaksud tersebut harus mempertimbangkan pengentasan kemiskinan dan menjamin bahwa pelestarian warisan budaya ditingkat hulu akan membawa manfaat ekonomi ditingkat hilir. Disamping itu, Ia menghimbau perlunya peningkatan peran badan pengelola, dan kebijakan yang disusun mempertimbangkan situasi khusus dari situs sehingga dapat diimplementasikan dengan baik. “Semakin kita melestarikan arisan budaya maka akan semakin membawa kesejahteraan bagi masyarakat” tegas Untoro.

Apresiasi terhadap kegiatan tersebut disampaikan Direktur UNESCO Jakarta, Shahbaz Khan. Ia menilai workshop tersebut penting sebagai forum untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam upaya menjamin kelangsungan pariwisata di situs warisan dunia, disamping sebagai forum untuk saling berdialog diantara pemangku kepentingan. “Pariwisata dan warisan budaya yang dikelola secara bertanggungjawab akan mendukung pembangunan sosial dan ekonomi,” ujar Shahbaz.

Sementara itu Wagub Sudikerta dalam wawancaranya adengan awak media seusai acara, menyatakan Subak sebagai tulang punggung pertanian perlu dijaga dan dilestarikan dengan menata pengelolaan lembaga subak tersebut. Subak yang secara adat memang sudah di Bali, menurutnya perlu dikelola lebih profesional oleh satu lembaga yang menaungi seluruh Subak, sehingga memberikan asas manfaat yang lebih baik dan diakui secara nasional. Terkait insentif yang dicanangkan, Wagub menyatakan masih perlu kajian lebih dalam apakah memberikan lebih banyak hal positif dengan sistem yang ada saat ini atau dengan kelembagaan yang baru. Terkait usaha-usaha pemerintah dalam mendukung keberadaan Subak, Sudikerta memaparkan sudah banyak hal yang sudah dilaksanakan diantaranya dari segi penataan infrastruktur pemerintah sudah melaksanakan perbaikan saluran irigasi, membangun saluran baru, dan jalan-jalan daerah subak pun sudah diprogramkan tiap tahun. Disamping itu dari segi sarana prasarana sudah disiapkan batuan bibit-bibit unggul, dari sisi saprodi dibantu pemberian pupuk yang tiap tahun disubsidi mencapai 10 miliar, dan dari sisi ketenaga kerjaan yang saat ini susah untuk sektor pertanian sudah diperingan dengan bantuan traktor dan mesin pemanen. Sudikerta pun mencanangkan perlunya sistem asuransi yang akan melindungi para petani apabila mengalami gagal panen. “Apabila petani mengalami gagal panen maka sudah ada yang akan membayar tanggungannya, sehingga kerugian yang dialami bisa teratasi,” pungkas Sudikerta.

 

Workshop ini  diikuti oleh kalangan akademisi dan 5 daerah Subak di Bali yang masuk Situs Warisan Budaya yakni Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Buleleng. AD-MB